Lembah Kahung, Pesona Lain Kalsel
Lembah Kahung sudah tidak asing lagi bagi saya. Sejak lama pula saya sangat berkeinginan mengunjunginya. Namun ketidaktahuan medan dan informasi seputar Lembah Kahung yang sangat kurang, saya berkali-kali membatalkan perjalanan ke kawasan alam di Kabupaten Banjar itu. Pertengahan bulan Oktober lalu, seorang kawan mengajak saya ke Lembah Kahung. Tawaran itu pun tanpa pikir panjang segera saya iyakan. Bagi saya ini adalah peluang baik.
Seminggu setelah melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, saya kembali meninggalkan Banjarmasin. Jarak tempuh menuju Lembah Kahung sekitar 7 jam. Perjalanan itu sudah termasuk 2 jam berkendara di jalur darat, 2 jam menyusuri Waduk Riam Kanan dan 3 jam berjalan kaki menuju titik terakhir. Cukup jauh memang, namun pesona alami yang ditawarkan Lembah Kahung rasanya sulit untuk ditolak.
Saya tidak sendiri, ada belasan teman seperjalanan menuju Lembah Kahung. Pagi minggu menyambut kami dengan matahari yang cukup cerah. Saya pun segera membelah Jalan Akhmad Yani yang menghubungkan Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Di persimpangan besar di sekitar Bundaran Simpang Empat Banjarbaru, kami terus mengarah ke Desa Aranio. Disana saya dan kawan-kawan akan mencari kapal yang bisa membawa kami ke Desa Belangian, desa terujung di sekitar Waduk Riam Kanan.
Kapal berukuran cukup besar akhirnya di dapat. Harga sewa sebesar Rp. 300 ribu saja. Langit masih sangat cerah ketika kapal kami membelah Riam Kanan yang tampak cantik. Kiri kanan nya terhampar luas Pegunungan Meratus. Puluhan keramba ikan air tawar tampak berjejer di atas permukaan air Riam Kanan yang berwarna agak kehijauan.
Desa Belangian menyambut kami. Total perjalanan di atas kapal sekitar 2 jam. Sebuah dermaga kecil terlihat menjorok ke tengah danau. Kami segera melompat. Tak menyia-nyiakan waktu, saya bersama rombongan segera trekking menuju Lembah Kahung. Desa Belangian berukuran sangat kecil. Tak ada kendaraan bermotor disini. Suasananya sangat tenang.
Beberapa puluh menit kemudian, jalur trek yang kami lalui adalah berupa hamparan rumput, sisa perkebunan hingga lahan yang bekas terbakar. Hingga akhirnya kami menemui sungai pertama. Di sekitarnya terdapat shelter pertama. Saya agak terkejut, karena tak ada jembatan di sungai ini. Untung saja sungai nya tidak deras, sehingga kami bisa menyeberanginya. Kedalaman air sungai sekitar 30 centimeter saja. Saya pun berpas-pasan dengan salah seorang penduduk setempat yang tengah asyik menggiring kerbaunya. Kerbau tersebut dijadikan sebagai alat pengangkut kayu. Di dasar sungai, saya kerap kali menginjak batu alam di bawahnya. Jika tidak hati-hati, bukan tidak mungkin saya dan kawan-kawan terjungkal ke air.
Daratan kembali kami tapaki. Kali ini kami menemui lahan kosong yang disana kami bisa menyaksikan hamparan perbukitan hijau yang sangat indah. Bahkan sebuah hamparan rumput hijau kami temui di sebelah kanan jalan. Rumput hijau tersebut tumbuh subur di atas sebuah bukit. Mengingatkan saya pada foto yang sering muncul di Microsoft pada komputer. Saya pun dengan semangat bertahan di sekitarnya. Sayang rasanya jika tempat sebagus itu jika tidak dinikmati. Lensa kamera saya pun berkali-kali saya bidikan.
Kami kembali berjalan di jalur setapak. Kiri kanan jalan, saya banyak menemui pohon-pohon cabe bertebaran. Tampaknya penduduk setempat mengalami surplus cabe. Karena buahnya sangat banyak.
Dua jam perjalanan membawa kami pada shelter kedua. Di sebelah kanan jalur, saya menemukan dua buah bangunan mirip gazebo. Di sekitarnya terdapat hamparan sungai berbatu-batu. Kami terus melaju. Karena tujuan kami adalah air terjun di Lembah Kahung. Menurut informasi di internet, air terjun tersebut memiliki tingkatan sekitar 8 tingkat. Saya membayangkan, pemandangannya pasti sangat indah.
Namun setibanya di Hutan Kahung, saya dihadang segerombolan lintah liar yang cukup menjijikan. Lintah berwarna coklat itu sangat agresif. Setiap ada suhu panas yang berasal dari tubuh manusia, lintah-lintah tersebut akan mencari sumber panas itu. Tak tanggung-tanggung, lintah tak hanya menempel di tubuh saja. Tujuan utamanya adalah menghisap darah manusia.
Gigitannya menancap kuat di kulit saya. Melihatnya, saya sangat jijik. Belasan teman lainnya juga panik diserang binatang yang hanya bisa hidup di lahan basah itu. Ditengah kepanikan, saya dan kawan-kawan mencoba untuk membunuh lintah yang menempel di kaki dengan cara menaburi garam. Jika tidak mempan, kami terpaksa membunuhnya dengan cara memukulnya. Darah segar pun akan keluar dari tubuhnya.
Saya segera berlari keluar Hutan Kahung. Jalan licin tak lagi kami hiraukan. Karena semakin banyak lintah bermunculan. Niat mengunjungi air terjun kami urungkan. Kami tidak mau mengambil resiko terlalu banyak diserang lintah. Pesona hutan khas Kalimantan hanya sesaat kami nikmati. Jejeran pohon berukuran raksasa tak sempat saya foto. Ancaman lintah memaksa saya untuk tidak beraktivitas lebih banyak di hutan basah itu.
Hingga akhirnya saya dan rombongan beristirahat di shelter kedua di tepi sungai berair jernih. Ternyata beberapa lintah masih menempel di kaki saya. Tubuhnya tambun karena terlalu banyak menghisap darah saya. Trip kali ini benar-benar berbeda. Saya baru kali ini menemui alam yang banyak lintah di dalamnya. Bosan rasanya kalo hanya mengurus soal lintah, saya pun segera mengganjal perut dengan roti dan minuman beraroma jeruk. Salah satu teman seperjalanan, menjadikan roti tawar dan pisang sebagai menu andalan di Lembah Kahung.
Sungai alami di samping shelter menggoda saya untuk segera bercebur. Air nya sangat dingin dan jernih. Mirip Sungai Amandit di Loksado. Arus deras sungai yang bertemu ratusan batu di sekitarnya menciptakan pecahan air sungai yang sangat indah. Jeram-jeramnya terlihat cukup berbahaya. Saya merasa puas dengan apa yang saya dapat di Lembah Kahung. Meski batal ke air terjun nya. Saya masih berniat, untuk kembali kesini. Bahkan telah menyusun rencana untuk bermalam disini.
Info Akomodasi :
Dari Banjarmasin tujuan Martapura dilayani angkutan L300. Dari Martapura ke Waduk Riam Kanan, dilayani juga angkutan sejenis pick up. Dari dermaga Riam Kanan menuju Desa Belangian menggunakan kapal sewaan seharga Rp 300 ribu. Dari Desa Belangian ke Lembah Kahung hanya bisa dengan berjalan kaki/trekking sekitar 3 jam.
Banjarmasin, 27 November 2010
Seminggu setelah melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, saya kembali meninggalkan Banjarmasin. Jarak tempuh menuju Lembah Kahung sekitar 7 jam. Perjalanan itu sudah termasuk 2 jam berkendara di jalur darat, 2 jam menyusuri Waduk Riam Kanan dan 3 jam berjalan kaki menuju titik terakhir. Cukup jauh memang, namun pesona alami yang ditawarkan Lembah Kahung rasanya sulit untuk ditolak.
Saya tidak sendiri, ada belasan teman seperjalanan menuju Lembah Kahung. Pagi minggu menyambut kami dengan matahari yang cukup cerah. Saya pun segera membelah Jalan Akhmad Yani yang menghubungkan Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Di persimpangan besar di sekitar Bundaran Simpang Empat Banjarbaru, kami terus mengarah ke Desa Aranio. Disana saya dan kawan-kawan akan mencari kapal yang bisa membawa kami ke Desa Belangian, desa terujung di sekitar Waduk Riam Kanan.
Kapal berukuran cukup besar akhirnya di dapat. Harga sewa sebesar Rp. 300 ribu saja. Langit masih sangat cerah ketika kapal kami membelah Riam Kanan yang tampak cantik. Kiri kanan nya terhampar luas Pegunungan Meratus. Puluhan keramba ikan air tawar tampak berjejer di atas permukaan air Riam Kanan yang berwarna agak kehijauan.
Desa Belangian menyambut kami. Total perjalanan di atas kapal sekitar 2 jam. Sebuah dermaga kecil terlihat menjorok ke tengah danau. Kami segera melompat. Tak menyia-nyiakan waktu, saya bersama rombongan segera trekking menuju Lembah Kahung. Desa Belangian berukuran sangat kecil. Tak ada kendaraan bermotor disini. Suasananya sangat tenang.
Beberapa puluh menit kemudian, jalur trek yang kami lalui adalah berupa hamparan rumput, sisa perkebunan hingga lahan yang bekas terbakar. Hingga akhirnya kami menemui sungai pertama. Di sekitarnya terdapat shelter pertama. Saya agak terkejut, karena tak ada jembatan di sungai ini. Untung saja sungai nya tidak deras, sehingga kami bisa menyeberanginya. Kedalaman air sungai sekitar 30 centimeter saja. Saya pun berpas-pasan dengan salah seorang penduduk setempat yang tengah asyik menggiring kerbaunya. Kerbau tersebut dijadikan sebagai alat pengangkut kayu. Di dasar sungai, saya kerap kali menginjak batu alam di bawahnya. Jika tidak hati-hati, bukan tidak mungkin saya dan kawan-kawan terjungkal ke air.
Daratan kembali kami tapaki. Kali ini kami menemui lahan kosong yang disana kami bisa menyaksikan hamparan perbukitan hijau yang sangat indah. Bahkan sebuah hamparan rumput hijau kami temui di sebelah kanan jalan. Rumput hijau tersebut tumbuh subur di atas sebuah bukit. Mengingatkan saya pada foto yang sering muncul di Microsoft pada komputer. Saya pun dengan semangat bertahan di sekitarnya. Sayang rasanya jika tempat sebagus itu jika tidak dinikmati. Lensa kamera saya pun berkali-kali saya bidikan.
Kami kembali berjalan di jalur setapak. Kiri kanan jalan, saya banyak menemui pohon-pohon cabe bertebaran. Tampaknya penduduk setempat mengalami surplus cabe. Karena buahnya sangat banyak.
Dua jam perjalanan membawa kami pada shelter kedua. Di sebelah kanan jalur, saya menemukan dua buah bangunan mirip gazebo. Di sekitarnya terdapat hamparan sungai berbatu-batu. Kami terus melaju. Karena tujuan kami adalah air terjun di Lembah Kahung. Menurut informasi di internet, air terjun tersebut memiliki tingkatan sekitar 8 tingkat. Saya membayangkan, pemandangannya pasti sangat indah.
Namun setibanya di Hutan Kahung, saya dihadang segerombolan lintah liar yang cukup menjijikan. Lintah berwarna coklat itu sangat agresif. Setiap ada suhu panas yang berasal dari tubuh manusia, lintah-lintah tersebut akan mencari sumber panas itu. Tak tanggung-tanggung, lintah tak hanya menempel di tubuh saja. Tujuan utamanya adalah menghisap darah manusia.
Gigitannya menancap kuat di kulit saya. Melihatnya, saya sangat jijik. Belasan teman lainnya juga panik diserang binatang yang hanya bisa hidup di lahan basah itu. Ditengah kepanikan, saya dan kawan-kawan mencoba untuk membunuh lintah yang menempel di kaki dengan cara menaburi garam. Jika tidak mempan, kami terpaksa membunuhnya dengan cara memukulnya. Darah segar pun akan keluar dari tubuhnya.
Saya segera berlari keluar Hutan Kahung. Jalan licin tak lagi kami hiraukan. Karena semakin banyak lintah bermunculan. Niat mengunjungi air terjun kami urungkan. Kami tidak mau mengambil resiko terlalu banyak diserang lintah. Pesona hutan khas Kalimantan hanya sesaat kami nikmati. Jejeran pohon berukuran raksasa tak sempat saya foto. Ancaman lintah memaksa saya untuk tidak beraktivitas lebih banyak di hutan basah itu.
Hingga akhirnya saya dan rombongan beristirahat di shelter kedua di tepi sungai berair jernih. Ternyata beberapa lintah masih menempel di kaki saya. Tubuhnya tambun karena terlalu banyak menghisap darah saya. Trip kali ini benar-benar berbeda. Saya baru kali ini menemui alam yang banyak lintah di dalamnya. Bosan rasanya kalo hanya mengurus soal lintah, saya pun segera mengganjal perut dengan roti dan minuman beraroma jeruk. Salah satu teman seperjalanan, menjadikan roti tawar dan pisang sebagai menu andalan di Lembah Kahung.
Sungai alami di samping shelter menggoda saya untuk segera bercebur. Air nya sangat dingin dan jernih. Mirip Sungai Amandit di Loksado. Arus deras sungai yang bertemu ratusan batu di sekitarnya menciptakan pecahan air sungai yang sangat indah. Jeram-jeramnya terlihat cukup berbahaya. Saya merasa puas dengan apa yang saya dapat di Lembah Kahung. Meski batal ke air terjun nya. Saya masih berniat, untuk kembali kesini. Bahkan telah menyusun rencana untuk bermalam disini.
Info Akomodasi :
Dari Banjarmasin tujuan Martapura dilayani angkutan L300. Dari Martapura ke Waduk Riam Kanan, dilayani juga angkutan sejenis pick up. Dari dermaga Riam Kanan menuju Desa Belangian menggunakan kapal sewaan seharga Rp 300 ribu. Dari Desa Belangian ke Lembah Kahung hanya bisa dengan berjalan kaki/trekking sekitar 3 jam.
Banjarmasin, 27 November 2010
Bontang, Tak Sekedar Pabrik Raksasa
Mendengar nama Bontang, sebagian besar dari kita akan langsung mengingat dua buah pabrik besar yang beroperasi disana. Yakni Pupuk Kaltim dan Badak LNG, dua buah pabrik raksasa yang sedikit banyak telah menjadikan Bontang seperti saat ini. Pengaruh paling nyata adalah banyaknya pendatang dari luar Kalimantan yang menjadikan Bontang sebagai tempat mencari nafkah. Tidak hanya bekerja di dua pabrik tersebut, tapi banyak sektor lain yang menjanjikan yang bisa diraih di Kota Taman itu. Padahal masih ada alasan lain untuk mengunjungi Bontang, selain sebagai tempat untuk mencari nafkah.
Saya mantabkan niat mengunjungi kota yang berjarak sekitar 3 jam dari Samarinda itu dengan menaiki bis umum. Bis berangkat dari Terminal Lempake dengan biaya sekitar Rp 20 ribu saja. Bis merayap membelah sebagian sudut-sudut Samarinda yang tampak sangat sibuk. Kiri kanan jalan terlihat begitu banyak pembangunan gedung baru, baik hotel, pertokoan hingga ruko-ruko berbagai bentuk. Kontur geografis Samarinda yang berbukit-bukit mengingatkan saya pada kota Semarang. Tapi bedanya adalah Samarinda dibelah oleh Sungai Mahakam yang sangat tersohor itu. Sehingga tak heran jika di sekitar pusat kota berseliweran kapal-kapal besar merayap di atas sungai yang terkenal akan ikan pesut nya itu.
Memasuki tepian kota, jalan masih-masih meliuk-liuk terkadang konturnya turun naik. Jalan beraspal terlihat mulus, lalu lintas tak lagi ramai. Kiri kanan jalan saya menyaksikan hamparan perbukitan gundul yang merupakan sisa-sisa penebangan hutan. Saya jadi teringat ucapan seorang kawan di Banjarmasin, yang menyatakan bahwa era penebangan hutan mungkin telah berlalu, saatnya bumi dikoyak untuk mendapatkan batubara. Miris memang bila menyadari hal itu. Pulau Kalimantan memang sangat kaya soal sumber daya alam. Tak hanya hutan dan batubara, pendulangan intan bernilai tinggi juga ada di pulau nya suku Dayak ini. Biji besi dan gas metana katanya mulai akan digarap di Kalsel. Tak salah memang jika semua itu di eksplorasi, namun alangkah baiknya tetap peduli pada kelestarian alam.
Tak terasa bis non AC yang saya tumpangi telah memasuki kota Bontang. Sebuah gerbang besar menyambut kedatangan saya. Kesan pertama saya sesaat setelah memasuki Bontang adalah kota kecil yang sangat bersih dan asri. Tak ada kata semrawut untuk menggambarkan kota tepian laut ini. Rumah-rumah penduduk, perkantoran dan pertokoan berpadu apik dengan ramai nya pepohonan hijau. Sementara di sudut-sudut lain, saya banyak menemui taman kecil. Mungkin inilah alasan kenapa Bontang berjuluk sebagai Kota Taman.
Ada beberapa objek wisata yang akan saya kunjungi selama berada di Bontang. Diantaranya adalah Pulau Beras Basah, Bontang Kuala, wisata kuliner dan lain sebagainya. Kunjungan pertama saya adalah Bontang Kuala. Sebuah perkampungan diatas air yang menjadi salah stau ikon pariwisata Bontang. Layaknya sebuah kota, perkampungan yang berada di tepi laut lepas ini juga memiliki banyak fasilitas. Tak heran jika saya menemui masjid, toko, café lengkap dengan karaoke bahkan panggung hiburan pun ada disana. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu tampak rapi berjejer di air laut. Jalan penghubung antar rumah adalah berupa jembatan yang juga terbuat dari kayu. Saya kadang berpapasan dengan warga yang tengah asik bersepeda motor disini.
Saya langkahkan kaki menuju tepi perkampungan yang langsung bersebelahan dengan laut lepas. Disana ada semacam alun-alun berukuran seperti lapangan futsal. Kiri kanannya banyak sekali pedagang minuman dan makanan bergedung sederhana. Umumnya minuman yang dijual adalah aneka jus buah dan makanan semacam nasi goreng.
Jauh-jauh berkunjung ke Bontang rasanya tidak masuk akal jika saya hanya menyantap jus dan nasi goreng. Maka pilihan saya jatuh pada Sokko, makanan yang kata penduduk Bontang Kuala berasal dari sini. Sokko berpenampilan sederhana namun tampak menggoda selera saya. Bahan utamanya adalah ketan yang dimasak tanpa menggunakan santan.
Ketan tesebut dicetak di dalam sebuah mangkok kira-kira berdiameter 10 centimeter. Diatas cetakan ketan yang sudah berbentuk ditaburi parutan kelapa muda. Tak hanya itu, Sokko juga dilengkapi dengan lauk berupa ikan laut yang telah digoreng lalu disuwir-suwir kecil. Potongan ikan itu lalu ditumis dengan potongan bawang merah, yang dicampur dengan cabe kering, garam, gula pasir dan bawang merah yang telah dihaluskan.
Saat saya menyantapnya, ternyata jauh lebih nikmat dari apa yang bisa saya bayangkan. Rasa pedas tampak mendominasi indra perasa saya. Menambah nikmat kuliner khas Bontang Kuala itu. Saya hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 2 ribu saja untuk membayar kuliner unik dan khas itu. Harga yang tampak sangat masuk akal dan bersahabat untuk satu porsi Sokko. Saat ini tak banyak pedagang di Bontang Kuala yang menjajakan Sokko. Maka sangat dibutuhkan kejelian kita untuk menemukan pedagang Sokko di sekitar Bontang Kuala.
Tak hanya ramai dikunjungi wisatawan, Bontang Kuala juga menjadi tempat favorit warga Bontang untuk bersantai. Waktu paling ramai adalah saat menjelang senja dan pada malam hari, terutama sabtu malam. Biasanya ada pertunjukan musik dan hiburan lainnya. Cukup menghibur memang.
Malam menyambut saat saya berniat berkeliling kota. Suasana kota Bontang terasa lebih semarak pada malam hari. Banyak pertokoan dengan lampu-lampunya masih beraktivitas. Sejumlah pemilik rumah makan pun masih semangat menjajakan dagangannya. Termasuk RM Sari Laut Surabaya yang saat ini saya singgahi. Menu andalan di rumah makan sederhana ini adalah kepiting goreng mentega kriuk. Sulit digambarkan betapa nikmat nya kepiting goreng di tempat ini. Sejumlah kepiting berpadu dengan lezatnya aneka bumbu yang melekat di setiap cangkang dan daging nya. Sementara, cocolan sambal pedas dan lalapan sayur mentah semakin menambah nikmat menu yang disajikan. Satu porsi terdiri dari 2 ekor kepiting ukuran besar dengan harga Rp 35 ribu saja. Sehingga saya benar-benar merasa kenyang setelah melahap semua kepiting yang ada.
Rasanya jauh-jauh ke Bontang akan terasa rugi jika tak menyaksikan suasana pabrik Pupuk Kaltim pada malam hari. Saya cukup berkunjung ke area samping Hotel Bintang Sintuk untuk menyaksikan pabrik milik BUMN tersebut. Meski saya belum pernah ke Hongkong, namun mata saya mampu sedikit menyetarakan ribuan lampu di sekitar pabrik dengan lampu-lampu perkotaan di Hongkong sana. Sungguh pemandangan yang spektakuler, sebuah pabrik raksasa yang mirip kota besar di malam hari.
Tak terasa perjalanan saya di Bontang harus segera saya sudahi. Di pagi minggu yang cerah, saya disuguhi semangkok mie godok Jawa bikinan salah satu teman yang rumah nya saya jadikan tempat menginap selama di Bontang. Dengan berat hati saya meninggalkan kota Bontang dengan segala pesona nya.
Akomodasi :
Maskapai penerbangan cukup banyak melayani rute Jakarta menuju Balikpapan. Dengan harga mulai dari Rp 500 ribuan. Dari Balikpapan anda bisa menuju Bontang dengan menumpang bis seharga Rp 85 ribu. Lama perjalanan sekitar 5 jam. Atau jika anda dari Samarinda, maka biaya bis hanya Rp 20 ribu saja. Bontang termasuk kota yang tidak banyak memiliki hotel berbintang. Mungkin Hotel Bintang Sintuk bisa anda jadikan sebagai tempat menginap yang berkelas selama di Bontang. Lokasinya yang berada di sekitar Komplek perumahan Pupuk Kaltim, menjadikannya cukup tenang dan asri. Dari area hotel anda bisa menyaksikan pabrik PKT yang semarak di malam hari. Bontang Kuala adalah lokasi tepat untuk mencicipi Sokko. Makanan yang terbuat dari ketan, parutan kelapa dengan tambahan ikan berbumbu pedas. Satu porsi hanya sebesar Rp 2 ribu saja. Selain itu, kepiting goreng mentega kriuk di RM Sari Laut Surabaya sangat direkomendasikan jika anda berkunjung ke Bontang. Alamatnya di Jalan Bayangkara samping pom bensin telpon (0548) 24909. Lagi-lagi Bontang Kuala menjadi tempat yang pas untuk berbelanja oleh-oleh selain untuk mencicipi Sokko. Disini terdapat beberapa rumah penduduk yang menjajakan aneka souvenir khas Bontang. Seperti rumah suku Dayak yang berbentuk panggung dan aneka cinderamata yang terbuat dari karang laut. Selain itu, di Bontang Kuala juga banyak dijual terasi khas Bontang Kuala. Harganya mulai dari Rp 5 hingga 10 ribu saja. Jangan khawatir jika aroma terasi nya kemana-mana, karena terasi khas Bontang Kuala sudah dibungkus sedemikian rupa. Sehingga “aman” jika dijadikan oleh-oleh.
Saya mantabkan niat mengunjungi kota yang berjarak sekitar 3 jam dari Samarinda itu dengan menaiki bis umum. Bis berangkat dari Terminal Lempake dengan biaya sekitar Rp 20 ribu saja. Bis merayap membelah sebagian sudut-sudut Samarinda yang tampak sangat sibuk. Kiri kanan jalan terlihat begitu banyak pembangunan gedung baru, baik hotel, pertokoan hingga ruko-ruko berbagai bentuk. Kontur geografis Samarinda yang berbukit-bukit mengingatkan saya pada kota Semarang. Tapi bedanya adalah Samarinda dibelah oleh Sungai Mahakam yang sangat tersohor itu. Sehingga tak heran jika di sekitar pusat kota berseliweran kapal-kapal besar merayap di atas sungai yang terkenal akan ikan pesut nya itu.
Memasuki tepian kota, jalan masih-masih meliuk-liuk terkadang konturnya turun naik. Jalan beraspal terlihat mulus, lalu lintas tak lagi ramai. Kiri kanan jalan saya menyaksikan hamparan perbukitan gundul yang merupakan sisa-sisa penebangan hutan. Saya jadi teringat ucapan seorang kawan di Banjarmasin, yang menyatakan bahwa era penebangan hutan mungkin telah berlalu, saatnya bumi dikoyak untuk mendapatkan batubara. Miris memang bila menyadari hal itu. Pulau Kalimantan memang sangat kaya soal sumber daya alam. Tak hanya hutan dan batubara, pendulangan intan bernilai tinggi juga ada di pulau nya suku Dayak ini. Biji besi dan gas metana katanya mulai akan digarap di Kalsel. Tak salah memang jika semua itu di eksplorasi, namun alangkah baiknya tetap peduli pada kelestarian alam.
Tak terasa bis non AC yang saya tumpangi telah memasuki kota Bontang. Sebuah gerbang besar menyambut kedatangan saya. Kesan pertama saya sesaat setelah memasuki Bontang adalah kota kecil yang sangat bersih dan asri. Tak ada kata semrawut untuk menggambarkan kota tepian laut ini. Rumah-rumah penduduk, perkantoran dan pertokoan berpadu apik dengan ramai nya pepohonan hijau. Sementara di sudut-sudut lain, saya banyak menemui taman kecil. Mungkin inilah alasan kenapa Bontang berjuluk sebagai Kota Taman.
Ada beberapa objek wisata yang akan saya kunjungi selama berada di Bontang. Diantaranya adalah Pulau Beras Basah, Bontang Kuala, wisata kuliner dan lain sebagainya. Kunjungan pertama saya adalah Bontang Kuala. Sebuah perkampungan diatas air yang menjadi salah stau ikon pariwisata Bontang. Layaknya sebuah kota, perkampungan yang berada di tepi laut lepas ini juga memiliki banyak fasilitas. Tak heran jika saya menemui masjid, toko, café lengkap dengan karaoke bahkan panggung hiburan pun ada disana. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu tampak rapi berjejer di air laut. Jalan penghubung antar rumah adalah berupa jembatan yang juga terbuat dari kayu. Saya kadang berpapasan dengan warga yang tengah asik bersepeda motor disini.
Saya langkahkan kaki menuju tepi perkampungan yang langsung bersebelahan dengan laut lepas. Disana ada semacam alun-alun berukuran seperti lapangan futsal. Kiri kanannya banyak sekali pedagang minuman dan makanan bergedung sederhana. Umumnya minuman yang dijual adalah aneka jus buah dan makanan semacam nasi goreng.
Jauh-jauh berkunjung ke Bontang rasanya tidak masuk akal jika saya hanya menyantap jus dan nasi goreng. Maka pilihan saya jatuh pada Sokko, makanan yang kata penduduk Bontang Kuala berasal dari sini. Sokko berpenampilan sederhana namun tampak menggoda selera saya. Bahan utamanya adalah ketan yang dimasak tanpa menggunakan santan.
Ketan tesebut dicetak di dalam sebuah mangkok kira-kira berdiameter 10 centimeter. Diatas cetakan ketan yang sudah berbentuk ditaburi parutan kelapa muda. Tak hanya itu, Sokko juga dilengkapi dengan lauk berupa ikan laut yang telah digoreng lalu disuwir-suwir kecil. Potongan ikan itu lalu ditumis dengan potongan bawang merah, yang dicampur dengan cabe kering, garam, gula pasir dan bawang merah yang telah dihaluskan.
Saat saya menyantapnya, ternyata jauh lebih nikmat dari apa yang bisa saya bayangkan. Rasa pedas tampak mendominasi indra perasa saya. Menambah nikmat kuliner khas Bontang Kuala itu. Saya hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 2 ribu saja untuk membayar kuliner unik dan khas itu. Harga yang tampak sangat masuk akal dan bersahabat untuk satu porsi Sokko. Saat ini tak banyak pedagang di Bontang Kuala yang menjajakan Sokko. Maka sangat dibutuhkan kejelian kita untuk menemukan pedagang Sokko di sekitar Bontang Kuala.
Tak hanya ramai dikunjungi wisatawan, Bontang Kuala juga menjadi tempat favorit warga Bontang untuk bersantai. Waktu paling ramai adalah saat menjelang senja dan pada malam hari, terutama sabtu malam. Biasanya ada pertunjukan musik dan hiburan lainnya. Cukup menghibur memang.
Malam menyambut saat saya berniat berkeliling kota. Suasana kota Bontang terasa lebih semarak pada malam hari. Banyak pertokoan dengan lampu-lampunya masih beraktivitas. Sejumlah pemilik rumah makan pun masih semangat menjajakan dagangannya. Termasuk RM Sari Laut Surabaya yang saat ini saya singgahi. Menu andalan di rumah makan sederhana ini adalah kepiting goreng mentega kriuk. Sulit digambarkan betapa nikmat nya kepiting goreng di tempat ini. Sejumlah kepiting berpadu dengan lezatnya aneka bumbu yang melekat di setiap cangkang dan daging nya. Sementara, cocolan sambal pedas dan lalapan sayur mentah semakin menambah nikmat menu yang disajikan. Satu porsi terdiri dari 2 ekor kepiting ukuran besar dengan harga Rp 35 ribu saja. Sehingga saya benar-benar merasa kenyang setelah melahap semua kepiting yang ada.
Rasanya jauh-jauh ke Bontang akan terasa rugi jika tak menyaksikan suasana pabrik Pupuk Kaltim pada malam hari. Saya cukup berkunjung ke area samping Hotel Bintang Sintuk untuk menyaksikan pabrik milik BUMN tersebut. Meski saya belum pernah ke Hongkong, namun mata saya mampu sedikit menyetarakan ribuan lampu di sekitar pabrik dengan lampu-lampu perkotaan di Hongkong sana. Sungguh pemandangan yang spektakuler, sebuah pabrik raksasa yang mirip kota besar di malam hari.
Tak terasa perjalanan saya di Bontang harus segera saya sudahi. Di pagi minggu yang cerah, saya disuguhi semangkok mie godok Jawa bikinan salah satu teman yang rumah nya saya jadikan tempat menginap selama di Bontang. Dengan berat hati saya meninggalkan kota Bontang dengan segala pesona nya.
Akomodasi :
Maskapai penerbangan cukup banyak melayani rute Jakarta menuju Balikpapan. Dengan harga mulai dari Rp 500 ribuan. Dari Balikpapan anda bisa menuju Bontang dengan menumpang bis seharga Rp 85 ribu. Lama perjalanan sekitar 5 jam. Atau jika anda dari Samarinda, maka biaya bis hanya Rp 20 ribu saja. Bontang termasuk kota yang tidak banyak memiliki hotel berbintang. Mungkin Hotel Bintang Sintuk bisa anda jadikan sebagai tempat menginap yang berkelas selama di Bontang. Lokasinya yang berada di sekitar Komplek perumahan Pupuk Kaltim, menjadikannya cukup tenang dan asri. Dari area hotel anda bisa menyaksikan pabrik PKT yang semarak di malam hari. Bontang Kuala adalah lokasi tepat untuk mencicipi Sokko. Makanan yang terbuat dari ketan, parutan kelapa dengan tambahan ikan berbumbu pedas. Satu porsi hanya sebesar Rp 2 ribu saja. Selain itu, kepiting goreng mentega kriuk di RM Sari Laut Surabaya sangat direkomendasikan jika anda berkunjung ke Bontang. Alamatnya di Jalan Bayangkara samping pom bensin telpon (0548) 24909. Lagi-lagi Bontang Kuala menjadi tempat yang pas untuk berbelanja oleh-oleh selain untuk mencicipi Sokko. Disini terdapat beberapa rumah penduduk yang menjajakan aneka souvenir khas Bontang. Seperti rumah suku Dayak yang berbentuk panggung dan aneka cinderamata yang terbuat dari karang laut. Selain itu, di Bontang Kuala juga banyak dijual terasi khas Bontang Kuala. Harganya mulai dari Rp 5 hingga 10 ribu saja. Jangan khawatir jika aroma terasi nya kemana-mana, karena terasi khas Bontang Kuala sudah dibungkus sedemikian rupa. Sehingga “aman” jika dijadikan oleh-oleh.
Tanjung Puting, Negeri Damai bagi Orang Utan
Sebuah hamparan hutan hujan tropis di salah satu sudut Kalimantan, yang katanya disana ada ribuan orang utan hidup liar membuat saya tertantang untuk membuktikannya secara langsung. Tanjung Puting namanya. Sebuah taman nasional yang berhasil menarik perhatian dunia, terutama kalangan peneliti, mahasiswa, petualang, fotograper hingga selebritis sekaliber Julia Robert.
Sebagai seseorang yang pernah lahir dan besar di Kalteng, saya merasa malu jika saya tak menginjakan kaki di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Berbekal informasi dan sedikit keberanian, saya mantabkan membuat trip bersama puluhan kawan sesama penyuka petualangan ke TNTP.
Kamis malam (22/7), bis sederhana membawa kami membelah salah satu jalur Trans Kalimantan menuju Kecamatan Kumai, Pangkalan Bun yang berjarak sekitar 12 jam dari ibukota Kalteng, Palangka Raya. Malam makin meninggi saat bis kami merayap diatas jalanan beraspal. Suasana kota Palangka Raya telah lengang. Kota yang berjuluk Kota Cantik ini tidak terlalu besar, sehingga hanya dalam waktu beberapa menit saja, bis ekonomi yang membawa kami sudah berada di luar kota.
Meskipun diluar sana sepi, tapi apa yang terjadi di dalam bis sangatlah berbeda. Suasana keakraban bukanlah hal baru jika saya dan teman-teman tersebut berkumpul pada saat melakukan perjalanan. Banyak diantara kami yang hanya bisa bertemu saat ada trip saja, maka tak heran banyak cerita yang terjadi saat kami kembali bertemu.
Sampit yang pernah menghebohkan warga dunia karena bencana etnis beberapa tahun lalu, kami jumpai pada sekitar pukul 5 pagi. Di salah satu pom bensin, kami sejenak beristirahat dan melakukan ibadah sholat shubuh. Meski lelah dan masih dalam perjalanan, kami tetap berusaha untuk sujud pada Tuhan. Dalam doa, saya berharap Tuhan memberi keselamatan pada trip yang sedang kami laksanakan.
Perjalanan masih panjang. Bis kembali merayap menuju Pangkalan Bun. Udara pagi terasa dingin. Suara mesin bis yang agak berisik terus berbunyi memecah keheningan pagi di jalur Trans Kalimantan yang kami lalui. Sisa-sisa penebangan liar banyak kami temui di kiri kanan jalan. Batang pohon tanpa daun sangat mudah kami temui. Hutan Kalimantan yang masih berstatus sebagai paru-paru dunia, ternyata telah banyak menyisakan kesedihan. Karena ulah cukong-cukong tak bertanggung jawab yang hanya berotak uang. Tapi apa yang akan kami temui nanti di TNTP, merupakan salah satu aksi penyelamatan oleh negara terhadap hutan tropis khas Kalimantan. Karena dengan ditetapkannya sebagai taman nasional, segala jenis tumbuhan dan hewan di dalamnya akan dilindungi secara ketat oleh negara. Termasuk ribuan orang utan yang hidup bebas di dalam area taman nasional.
Kumai kami jumpai sekitar pukul 12 siang. Agak terlambat dari jadwal yang kami target kan sebelumnya. Kota kecil yang memiliki pelabuhan nasional ini, menjadi pintu terakhir menuju area TNTP. Kapal besar bermuatan 20 orang telah menanti kami di sebuah dermaga kecil di tepi Sungai Kumai yang besar. Sebelum benar-benar memasuki TNTP, saya dan Pak Ipul segera bergegas ke pasar terdekat untuk membeli logistik berupa beras, sayur, ikan, minyak goreng dan kebutuhan lainnya. Selain itu, saya dan Pak Ipul juga melaju menuju sebuah rumah sederhana milik pegawai dinas pariwisata untuk mengurus perijinan memasuki kawasan TNTP.
Pak Ipul merupakan orang yang selama ini sangat berjasa mewujudkan trip ke TNTP. Berkat jasa nya lah saya bisa mendapatkan kapal sewaan berkapasitas banyak. Bahkan banyak informasi penting yang saya dapat dari beliau.
Setelah selesai berbelanja logistik dan mengurus perijinan, saya dan kawan-kawan akhirnya melaju di atas Sungai Kumai menuju Sungai Sekonyer di seberang Kumai. Hamparan sungai besar, daratan hijau di kiri kanan sungai, kapal-kapal wisata pengangkut turis serta langit biru, begitu cantik di mata saya.
Di muara Sungai Sekonyer, kami mendapati tumbuhan berjenis nipah yang tumbuh subur di sepanjang tepi sungai. Sesekali saya menemui kapal lain yang di dalam nya terdapat turis asing. Keberadaan TNTP lebih banyak dikenal oleh warga luar terutama dari Eropa dan Australia dibanding oleh warga Indonesia sendiri. Dari sekitar 3000 turis yang memasuki TNTP setiap tahunnya, lebih dari 80 % nya adalah turis asing. Tak heran ketika saya berada disana, saya banyak menemui turis asing dari berbagai negara.
Desa Tanjung Harapan merupakan titik pertama saya menginjakan kaki di TNTP. Sebuah kawasan yang menjadi tempat melapor pertama kali selama di taman nasional. Tanjung Harapan juga menjadi salah satu lokasi feeding time bagi orang utan. Feeding time merupakan kegiatan memberi makan orang utan oleh petugas TNTP yang disebut ranger. Feeding time di Tanjung Harapan dilakukan setiap hari pada jam 3 sore. Saya dan kawan-kawan harus melakukan trekking singkat menuju feeding station (tempat pemberian makan) orang utan. Jalur trek tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit saja dengan berjalan kaki.
Disana kami hanya menjumpai Roger, salah satu orang utan yang ada di taman nasional. Meski hanya 1 orang utan saja, saya merasa tidak kecewa. Bagi saya, bertemu 1 orang utan di habitat aslinya lebih berharga bila dibanding bertemu puluhan orang utan di kebun binatang. Roger tampak rakus memakan sebagian besar buah pisang yang ditempatkan diatas sebuah papan di feeding station. Sesekali orang utan bertubuh besar tersebut memandang puluhan wisatawan termasuk kami, sambil mengambil beberapa buah pisang sekaligus. Bagi Roger, tatapan takjub wisatawan sudah menjadi hal biasa baginya. Ada ribuan warga dunia yang telah menemui dirinya selama beberapa tahun ini.
Tak hanya sekedar makan, aktivitas sehari-hari orang utan termasuk Roger adalah membuat sarang baru pada sore hari. Orang utan tidak mau tidur di sarang yang pernah digunakan sebelumnya. Ranting dan daun pepohonan segar akan mereka kumpulkan untuk membentuk rumah sederhana yang nyaman di atas pohon, yang bisa menghangatkan mereka dari serangan dingin malam. Ternyata, ranting-ranting pohon yang mereka patahkan dari pohon-pohon tersebut dapat membantu terciptanya pembukaan kanopi sehingga sinar matahari dapat masuk ke lantai hutan, yang bermanfaat bagi tumbuh kembangnya pohon muda.
Banyak hal yang saya dapat selama di TNTP. Penjelasan singkat dari guide, ranger, information center hingga majalah yang diterbitkan Orangutan Foundation International (OFI) dan Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) Kalimantan. Termasuk dedikasi Prof. Dr. Birute Galdikas yang telah menghabiskan masa hidupnya demi penelitian, penyelamatan hingga perlindungan ribuan orang utan di TNTP. Wanita cerdas kelahiran Kanada tersebut merupakan tokoh primatolog papan atas dunia. Bahkan wajah cantik nya pernah menjadi cover utama majalah National Geographic beserta ulasan mendalam tentang aktivitas nya selama di TNTP. Saat ini wanita yang sudah menjadi WNI tersebut menetap di desa Pasir Panjang, Kumai. Sejak berpisah dengan suami pertamanya, Birute saat ini menikah dengan pria Dayak yang berprofesi sebagai petani di Pasir Panjang.
Pondok Tanggui merupakan feeding station kedua yang kami kunjungi. Jembatan panjang dari kayu menyambut saya. Kiri kanannya terhampar air bening berwarna seperti teh. Proses alam lah yang membuat air di TNTP terlihat seperti itu. Salah satu penyebabnya adalah endapan akar-akar tumbuhan rawa di sekitar TNTP. Meski tampak tenang, sungai di TNTP sangat berbahaya. Karena ada banyak buaya di dalamnya. Dari penuturan Bapak Hata, pemandu kami disana, ada satu orang turis asal Eropa meninggal dunia gara-gara diserang buaya. Turis tersebut ternyata nekad mandi dengan menceburkan diri di sungai. Masih menurut Bapak Hata, seorang polisi lokal juga pernah diserang buaya ganas. Polisi tersebut terkecoh oleh tubuh buaya yang mirip batang pohon. Dengan lugunya, polisi itu duduk diatas punggung buaya karena mengira batang pohon. Alhasil bahaya ganas mengancamnya.
Saya harus melewati jalur trek menuju feeding station yang terendam air. Tingginya sampai paha saya. Beberapa turis asing ada yang memanfaatkan sampan untuk melalui genangan air rawa tersebut. Meski agak was-was terhadap ancaman buaya, saya tetap memberanikan diri menuju feeding station.
Di lokasi tujuan, saya mendapati beberapa orang utan sekaligus. Tumpukan pisang terlihat ramai berserakan di atas sebuah bangunan dari kayu mirip gazebo tanpa atap. Disanalah pusat feeding time di laksanakan setiap harinya. Teriakan kencang para ranger memanggil orang utan liar terus terdengar. Memecah keheningan hutan yang kami kunjungi.
Camp Leakey merupakan tujuan akhir kami di TNTP. Disinilah pusat kegiatan penelitian, penyelamatan dan kegiatan lainnya dilakukan. Saya menjumpai begitu banyak kapal wisatawan di dermaga utama. Turis mancanegara tampak mendominasi pengunjung yang saya temui. TNTP telah lama menjadi magnet utama warga dunia jika berkunjung ke Kalimantan. Pamor nya telah mendunia. Namun ironis, pesona TNTP tak sama dimata warga Indonesia. Banyak yang tidak tahu keberadaannya. Umumnya selera wisata orang Indonesia hanya terfokus pada pantai dan pegunungan.
Di Camp Leakey saya berhasil bertemu Tom dan Siswi. Mereka merupakan pasangan yang sangat populer di seantero TNTP. Tom merupakan pejantan yang saat ini berkuasa di Camp Leakey. Bahkan Tom berhasil merebut Siswi dari tangan Kosasih, pejantan lain yang pernah bertahta. Siswi adalah salah satu orang utan betina yang menjadi rebutan di Camp Leakey.
Wajah Tom yang memiliki bantalan pipi (cheekpet) di kiri kanan nya, tampak mengerikan. Saya sesekali merasa takut jika mata Tom ke arah saya. Tubuh besarnya makin memperkuat keperkasaan orang utan yang berumur 26 tahun ini.
Saya kembali menuju hutan untuk menyaksikan feeding time. Lokasinya cukup jauh. Kiri kanan jalan banyak pohon besar saya lewati. Jalanan agak sedikit becek. Di feeding station saya menemui sekitar 7 orang utan. Mulai dari orang utan yang masih kecil hingga dewasa. Dari pengamatan singkat saya, jika ada orang utan besar sedang makan di atas papan tempat menumpuknya pisang, banyak orang utan yang lebih muda tampak takut mendekati pisang-pisang tersebut. Jika ada orang utan muda yang nekad mengambil salah satu pisang, hanya salah satu jangkauan tangan panjang mereka saja yang memungut pisang. Sementara tangan lainnya, mencengkeram kuat di batang pohon untuk menopang tubuh kecil mereka. Agaknya cara ini sebagai antisipasi untuk menghindari kontak langsung dengan orang utan yang lebih dewasa.
Sore menjelang, saya terpaksa meninggalkan feeding station. Berat rasanya menyudahi tontonan berharga ini. Tontonan yang menyadarkan saya betapa pentingnya menjaga keharmonisan antar manusia, hutan dengan segala isinya termasuk Roger, Tom, Siswi, Kosasih dan ribuan orang utan lainnya. Jika mereka bisa berbicara, kalimat pertama yang akan mereka ucapkan adalah “Selamatkan hutan kami, lindungi habitat kami,”.
Saat kapal kami melaju menuju Kumai, saya terkadang menemui orang utan sedang asyik bergelantungan di atas pohon di tepi sungai. Mereka terlihat asyik menikmati apa-apa yang bisa mereka makan. Bisa dibayangkan, jika pohon-pohon itu dibabat maka bukan tidak mungkin nyawa orang utan akan terancam. Saya sadar betapa pentingnya mereka. Ekosistem di hutan akan seimbang jika ribuan orang utan disana tetap lestari, termasuk penyeberan bibit-bibit baru pepohonan yang tumbuh karena biji-biji tumbuhan yang keluar bersamaan dengan kotoran yang dibuang orang utan di hutan.
Bekantan adalah penghuni surga hutan lain yang saya temui di TNTP. Saat senja hari mereka bermunculan untuk mencari makan. Hal ini mengingatkan saya pada masa kecil saya di Sungai Katingan, Kalteng. Jika saya menyusuri Sungai Katingan pada pagi atau sore hari, saya sering menemui bekantan di tepi sungai. TNTP menjadi tempat saya untuk mengingat kembali kehidupan kecil saya puluhan tahun silam.
Alam khas Kalimantan terhampar luas disini. Seakan-akan menjadi cerminan kecil betapa kayanya alam Indonesia khususnya hutan tropis Kalimantan. Hutan yang hingga saat ini menjadi paru-paru dunia. Saya bangga telah menyatu dengan alam TNTP. Meski singkat namun saya bisa merasakan betapa damainya kehidupan di taman nasional andalan Indonesia ini. TNTP masih memberikan hadiah cantik bagi warga dunia, berupa makhluk berharga bernama orang utan.
Saya jadi ingat akan lirik lagu Iwan Fals, yang isinya “ Menjaga hutan memang sulit sekali. Orang, pemerintah saja tak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca tulis dan hitung,”. Sebuah lirik yang menggambarkan betapa sulitnya kehidupan anak rimba yang melarat gara-gara penjarahan hutan oleh bajingan-bajingan tak bertanggung jawab. Bisa dibayangkan, anak rimba yang sudah belajar tulis dan baca saja tak begitu mengerti bagaimana menyelamatkan hutan dari pembalakan liar, apalagi orang utan. Yang tak bisa mengerti tentang apa aksi penyelamatan, perlindungan hingga regenerasi orang utan. Hanya manusia berakal yang bisa melakukannya. Tak hanya Prof. Birute sang ahli primatolog asal Kanada, siapapun bisa menyelamatkan hutan dan orang utan di dalam nya.
Perjalanan ini benar-benar berkesan bagi saya. Jika ada kesempatan, saya pasti akan kembali ke TNTP. Bertemu Tom, Siswi, Roger dan kawan-kawan disana.
Rute :
Penerbangan dari Jakarta menuju Palangka Raya dilayani maskapai Garuda, Batavia & Sriwijaya. Dari Palangka Raya menuju Kumai bisa dengan menggunakan bis umum dan angkutan travel sejenis Kijang. Dari Kumai menuju TNTP hanya dapat dilayani kapal dan speed boat sewaan. Kapal bisa dimanfaatkan sebagai tempat menginap dan memasak. Kapal juga dilengkapi tempat mandi. Sewa kapal antara Rp 500 hingga 700 ribu perhari yg bisa menampung hingga 20 orang, sedangkan speed boat dipatok seharga Rp. 600 ribu yang bisa memuat 5 orang penumpang.
Terima kasih tak terhingga :
- Allah SWT atas segala kesempatannya
- Nabi Muhammad SAW atas semua contoh baiknya
- Teman-teman seperjalanan (Mifta, Mami Daisy, Mba Sita, Mba Yanti SN, Bang Ago, Mba Indri, Mba Dwi Yanti, Mba Onny, Adji, Septri, Doli, Niken, Vina, Irwan HI, Ifrah, Tini, She Pin, Ina & Lilia)
- Bapak Ipul, Bapak Hata, Bapak Yahya bimbingannya selama di TNTP
- Bapak Yadi atas buku Lonely Planet nya
- Tentu saja Ibu Prof. Birute dan para ranger atas dedikasi total nya selama ini di TNTP
Banjarmasin, 27 Juli 2010
Sebagai seseorang yang pernah lahir dan besar di Kalteng, saya merasa malu jika saya tak menginjakan kaki di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Berbekal informasi dan sedikit keberanian, saya mantabkan membuat trip bersama puluhan kawan sesama penyuka petualangan ke TNTP.
Kamis malam (22/7), bis sederhana membawa kami membelah salah satu jalur Trans Kalimantan menuju Kecamatan Kumai, Pangkalan Bun yang berjarak sekitar 12 jam dari ibukota Kalteng, Palangka Raya. Malam makin meninggi saat bis kami merayap diatas jalanan beraspal. Suasana kota Palangka Raya telah lengang. Kota yang berjuluk Kota Cantik ini tidak terlalu besar, sehingga hanya dalam waktu beberapa menit saja, bis ekonomi yang membawa kami sudah berada di luar kota.
Meskipun diluar sana sepi, tapi apa yang terjadi di dalam bis sangatlah berbeda. Suasana keakraban bukanlah hal baru jika saya dan teman-teman tersebut berkumpul pada saat melakukan perjalanan. Banyak diantara kami yang hanya bisa bertemu saat ada trip saja, maka tak heran banyak cerita yang terjadi saat kami kembali bertemu.
Sampit yang pernah menghebohkan warga dunia karena bencana etnis beberapa tahun lalu, kami jumpai pada sekitar pukul 5 pagi. Di salah satu pom bensin, kami sejenak beristirahat dan melakukan ibadah sholat shubuh. Meski lelah dan masih dalam perjalanan, kami tetap berusaha untuk sujud pada Tuhan. Dalam doa, saya berharap Tuhan memberi keselamatan pada trip yang sedang kami laksanakan.
Perjalanan masih panjang. Bis kembali merayap menuju Pangkalan Bun. Udara pagi terasa dingin. Suara mesin bis yang agak berisik terus berbunyi memecah keheningan pagi di jalur Trans Kalimantan yang kami lalui. Sisa-sisa penebangan liar banyak kami temui di kiri kanan jalan. Batang pohon tanpa daun sangat mudah kami temui. Hutan Kalimantan yang masih berstatus sebagai paru-paru dunia, ternyata telah banyak menyisakan kesedihan. Karena ulah cukong-cukong tak bertanggung jawab yang hanya berotak uang. Tapi apa yang akan kami temui nanti di TNTP, merupakan salah satu aksi penyelamatan oleh negara terhadap hutan tropis khas Kalimantan. Karena dengan ditetapkannya sebagai taman nasional, segala jenis tumbuhan dan hewan di dalamnya akan dilindungi secara ketat oleh negara. Termasuk ribuan orang utan yang hidup bebas di dalam area taman nasional.
Kumai kami jumpai sekitar pukul 12 siang. Agak terlambat dari jadwal yang kami target kan sebelumnya. Kota kecil yang memiliki pelabuhan nasional ini, menjadi pintu terakhir menuju area TNTP. Kapal besar bermuatan 20 orang telah menanti kami di sebuah dermaga kecil di tepi Sungai Kumai yang besar. Sebelum benar-benar memasuki TNTP, saya dan Pak Ipul segera bergegas ke pasar terdekat untuk membeli logistik berupa beras, sayur, ikan, minyak goreng dan kebutuhan lainnya. Selain itu, saya dan Pak Ipul juga melaju menuju sebuah rumah sederhana milik pegawai dinas pariwisata untuk mengurus perijinan memasuki kawasan TNTP.
Pak Ipul merupakan orang yang selama ini sangat berjasa mewujudkan trip ke TNTP. Berkat jasa nya lah saya bisa mendapatkan kapal sewaan berkapasitas banyak. Bahkan banyak informasi penting yang saya dapat dari beliau.
Setelah selesai berbelanja logistik dan mengurus perijinan, saya dan kawan-kawan akhirnya melaju di atas Sungai Kumai menuju Sungai Sekonyer di seberang Kumai. Hamparan sungai besar, daratan hijau di kiri kanan sungai, kapal-kapal wisata pengangkut turis serta langit biru, begitu cantik di mata saya.
Di muara Sungai Sekonyer, kami mendapati tumbuhan berjenis nipah yang tumbuh subur di sepanjang tepi sungai. Sesekali saya menemui kapal lain yang di dalam nya terdapat turis asing. Keberadaan TNTP lebih banyak dikenal oleh warga luar terutama dari Eropa dan Australia dibanding oleh warga Indonesia sendiri. Dari sekitar 3000 turis yang memasuki TNTP setiap tahunnya, lebih dari 80 % nya adalah turis asing. Tak heran ketika saya berada disana, saya banyak menemui turis asing dari berbagai negara.
Desa Tanjung Harapan merupakan titik pertama saya menginjakan kaki di TNTP. Sebuah kawasan yang menjadi tempat melapor pertama kali selama di taman nasional. Tanjung Harapan juga menjadi salah satu lokasi feeding time bagi orang utan. Feeding time merupakan kegiatan memberi makan orang utan oleh petugas TNTP yang disebut ranger. Feeding time di Tanjung Harapan dilakukan setiap hari pada jam 3 sore. Saya dan kawan-kawan harus melakukan trekking singkat menuju feeding station (tempat pemberian makan) orang utan. Jalur trek tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit saja dengan berjalan kaki.
Disana kami hanya menjumpai Roger, salah satu orang utan yang ada di taman nasional. Meski hanya 1 orang utan saja, saya merasa tidak kecewa. Bagi saya, bertemu 1 orang utan di habitat aslinya lebih berharga bila dibanding bertemu puluhan orang utan di kebun binatang. Roger tampak rakus memakan sebagian besar buah pisang yang ditempatkan diatas sebuah papan di feeding station. Sesekali orang utan bertubuh besar tersebut memandang puluhan wisatawan termasuk kami, sambil mengambil beberapa buah pisang sekaligus. Bagi Roger, tatapan takjub wisatawan sudah menjadi hal biasa baginya. Ada ribuan warga dunia yang telah menemui dirinya selama beberapa tahun ini.
Tak hanya sekedar makan, aktivitas sehari-hari orang utan termasuk Roger adalah membuat sarang baru pada sore hari. Orang utan tidak mau tidur di sarang yang pernah digunakan sebelumnya. Ranting dan daun pepohonan segar akan mereka kumpulkan untuk membentuk rumah sederhana yang nyaman di atas pohon, yang bisa menghangatkan mereka dari serangan dingin malam. Ternyata, ranting-ranting pohon yang mereka patahkan dari pohon-pohon tersebut dapat membantu terciptanya pembukaan kanopi sehingga sinar matahari dapat masuk ke lantai hutan, yang bermanfaat bagi tumbuh kembangnya pohon muda.
Banyak hal yang saya dapat selama di TNTP. Penjelasan singkat dari guide, ranger, information center hingga majalah yang diterbitkan Orangutan Foundation International (OFI) dan Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) Kalimantan. Termasuk dedikasi Prof. Dr. Birute Galdikas yang telah menghabiskan masa hidupnya demi penelitian, penyelamatan hingga perlindungan ribuan orang utan di TNTP. Wanita cerdas kelahiran Kanada tersebut merupakan tokoh primatolog papan atas dunia. Bahkan wajah cantik nya pernah menjadi cover utama majalah National Geographic beserta ulasan mendalam tentang aktivitas nya selama di TNTP. Saat ini wanita yang sudah menjadi WNI tersebut menetap di desa Pasir Panjang, Kumai. Sejak berpisah dengan suami pertamanya, Birute saat ini menikah dengan pria Dayak yang berprofesi sebagai petani di Pasir Panjang.
Pondok Tanggui merupakan feeding station kedua yang kami kunjungi. Jembatan panjang dari kayu menyambut saya. Kiri kanannya terhampar air bening berwarna seperti teh. Proses alam lah yang membuat air di TNTP terlihat seperti itu. Salah satu penyebabnya adalah endapan akar-akar tumbuhan rawa di sekitar TNTP. Meski tampak tenang, sungai di TNTP sangat berbahaya. Karena ada banyak buaya di dalamnya. Dari penuturan Bapak Hata, pemandu kami disana, ada satu orang turis asal Eropa meninggal dunia gara-gara diserang buaya. Turis tersebut ternyata nekad mandi dengan menceburkan diri di sungai. Masih menurut Bapak Hata, seorang polisi lokal juga pernah diserang buaya ganas. Polisi tersebut terkecoh oleh tubuh buaya yang mirip batang pohon. Dengan lugunya, polisi itu duduk diatas punggung buaya karena mengira batang pohon. Alhasil bahaya ganas mengancamnya.
Saya harus melewati jalur trek menuju feeding station yang terendam air. Tingginya sampai paha saya. Beberapa turis asing ada yang memanfaatkan sampan untuk melalui genangan air rawa tersebut. Meski agak was-was terhadap ancaman buaya, saya tetap memberanikan diri menuju feeding station.
Di lokasi tujuan, saya mendapati beberapa orang utan sekaligus. Tumpukan pisang terlihat ramai berserakan di atas sebuah bangunan dari kayu mirip gazebo tanpa atap. Disanalah pusat feeding time di laksanakan setiap harinya. Teriakan kencang para ranger memanggil orang utan liar terus terdengar. Memecah keheningan hutan yang kami kunjungi.
Camp Leakey merupakan tujuan akhir kami di TNTP. Disinilah pusat kegiatan penelitian, penyelamatan dan kegiatan lainnya dilakukan. Saya menjumpai begitu banyak kapal wisatawan di dermaga utama. Turis mancanegara tampak mendominasi pengunjung yang saya temui. TNTP telah lama menjadi magnet utama warga dunia jika berkunjung ke Kalimantan. Pamor nya telah mendunia. Namun ironis, pesona TNTP tak sama dimata warga Indonesia. Banyak yang tidak tahu keberadaannya. Umumnya selera wisata orang Indonesia hanya terfokus pada pantai dan pegunungan.
Di Camp Leakey saya berhasil bertemu Tom dan Siswi. Mereka merupakan pasangan yang sangat populer di seantero TNTP. Tom merupakan pejantan yang saat ini berkuasa di Camp Leakey. Bahkan Tom berhasil merebut Siswi dari tangan Kosasih, pejantan lain yang pernah bertahta. Siswi adalah salah satu orang utan betina yang menjadi rebutan di Camp Leakey.
Wajah Tom yang memiliki bantalan pipi (cheekpet) di kiri kanan nya, tampak mengerikan. Saya sesekali merasa takut jika mata Tom ke arah saya. Tubuh besarnya makin memperkuat keperkasaan orang utan yang berumur 26 tahun ini.
Saya kembali menuju hutan untuk menyaksikan feeding time. Lokasinya cukup jauh. Kiri kanan jalan banyak pohon besar saya lewati. Jalanan agak sedikit becek. Di feeding station saya menemui sekitar 7 orang utan. Mulai dari orang utan yang masih kecil hingga dewasa. Dari pengamatan singkat saya, jika ada orang utan besar sedang makan di atas papan tempat menumpuknya pisang, banyak orang utan yang lebih muda tampak takut mendekati pisang-pisang tersebut. Jika ada orang utan muda yang nekad mengambil salah satu pisang, hanya salah satu jangkauan tangan panjang mereka saja yang memungut pisang. Sementara tangan lainnya, mencengkeram kuat di batang pohon untuk menopang tubuh kecil mereka. Agaknya cara ini sebagai antisipasi untuk menghindari kontak langsung dengan orang utan yang lebih dewasa.
Sore menjelang, saya terpaksa meninggalkan feeding station. Berat rasanya menyudahi tontonan berharga ini. Tontonan yang menyadarkan saya betapa pentingnya menjaga keharmonisan antar manusia, hutan dengan segala isinya termasuk Roger, Tom, Siswi, Kosasih dan ribuan orang utan lainnya. Jika mereka bisa berbicara, kalimat pertama yang akan mereka ucapkan adalah “Selamatkan hutan kami, lindungi habitat kami,”.
Saat kapal kami melaju menuju Kumai, saya terkadang menemui orang utan sedang asyik bergelantungan di atas pohon di tepi sungai. Mereka terlihat asyik menikmati apa-apa yang bisa mereka makan. Bisa dibayangkan, jika pohon-pohon itu dibabat maka bukan tidak mungkin nyawa orang utan akan terancam. Saya sadar betapa pentingnya mereka. Ekosistem di hutan akan seimbang jika ribuan orang utan disana tetap lestari, termasuk penyeberan bibit-bibit baru pepohonan yang tumbuh karena biji-biji tumbuhan yang keluar bersamaan dengan kotoran yang dibuang orang utan di hutan.
Bekantan adalah penghuni surga hutan lain yang saya temui di TNTP. Saat senja hari mereka bermunculan untuk mencari makan. Hal ini mengingatkan saya pada masa kecil saya di Sungai Katingan, Kalteng. Jika saya menyusuri Sungai Katingan pada pagi atau sore hari, saya sering menemui bekantan di tepi sungai. TNTP menjadi tempat saya untuk mengingat kembali kehidupan kecil saya puluhan tahun silam.
Alam khas Kalimantan terhampar luas disini. Seakan-akan menjadi cerminan kecil betapa kayanya alam Indonesia khususnya hutan tropis Kalimantan. Hutan yang hingga saat ini menjadi paru-paru dunia. Saya bangga telah menyatu dengan alam TNTP. Meski singkat namun saya bisa merasakan betapa damainya kehidupan di taman nasional andalan Indonesia ini. TNTP masih memberikan hadiah cantik bagi warga dunia, berupa makhluk berharga bernama orang utan.
Saya jadi ingat akan lirik lagu Iwan Fals, yang isinya “ Menjaga hutan memang sulit sekali. Orang, pemerintah saja tak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca tulis dan hitung,”. Sebuah lirik yang menggambarkan betapa sulitnya kehidupan anak rimba yang melarat gara-gara penjarahan hutan oleh bajingan-bajingan tak bertanggung jawab. Bisa dibayangkan, anak rimba yang sudah belajar tulis dan baca saja tak begitu mengerti bagaimana menyelamatkan hutan dari pembalakan liar, apalagi orang utan. Yang tak bisa mengerti tentang apa aksi penyelamatan, perlindungan hingga regenerasi orang utan. Hanya manusia berakal yang bisa melakukannya. Tak hanya Prof. Birute sang ahli primatolog asal Kanada, siapapun bisa menyelamatkan hutan dan orang utan di dalam nya.
Perjalanan ini benar-benar berkesan bagi saya. Jika ada kesempatan, saya pasti akan kembali ke TNTP. Bertemu Tom, Siswi, Roger dan kawan-kawan disana.
Rute :
Penerbangan dari Jakarta menuju Palangka Raya dilayani maskapai Garuda, Batavia & Sriwijaya. Dari Palangka Raya menuju Kumai bisa dengan menggunakan bis umum dan angkutan travel sejenis Kijang. Dari Kumai menuju TNTP hanya dapat dilayani kapal dan speed boat sewaan. Kapal bisa dimanfaatkan sebagai tempat menginap dan memasak. Kapal juga dilengkapi tempat mandi. Sewa kapal antara Rp 500 hingga 700 ribu perhari yg bisa menampung hingga 20 orang, sedangkan speed boat dipatok seharga Rp. 600 ribu yang bisa memuat 5 orang penumpang.
Terima kasih tak terhingga :
- Allah SWT atas segala kesempatannya
- Nabi Muhammad SAW atas semua contoh baiknya
- Teman-teman seperjalanan (Mifta, Mami Daisy, Mba Sita, Mba Yanti SN, Bang Ago, Mba Indri, Mba Dwi Yanti, Mba Onny, Adji, Septri, Doli, Niken, Vina, Irwan HI, Ifrah, Tini, She Pin, Ina & Lilia)
- Bapak Ipul, Bapak Hata, Bapak Yahya bimbingannya selama di TNTP
- Bapak Yadi atas buku Lonely Planet nya
- Tentu saja Ibu Prof. Birute dan para ranger atas dedikasi total nya selama ini di TNTP
Banjarmasin, 27 Juli 2010
Jembatan Antar Pohon di Bukit Bangkirai
Banyak yang bilang jika ke Balikpapan tidak lengkap bila tidak berkunjung ke Bukit Bangkirai. Tak sekedar area berisi perbukitan hijau nan rimbun, Bukit Bangkirai memiliki beberapa keunggulan lain. Sebut saja sarana outbond, koleksi pohon-pohon langka, beberapa buah villa, jalur trekking dan yang paling unik adalah jembatan antar pohon atau canopy bridge warga dunia menyebutnya.
Jembatan antar pohon yang ada di Bukit Bangkirai merupakan yang pertama di Indonesia, kedua di Asia dan yang ke delapan di dunia.
Saya berangkat dari Balikpapan bersama beberapa teman sekaligus. Dengan menggunakan mobil, kami memulai perjalanan sekitar jam 1 siang. Perjalanan ditempuh sekitar 1,5 jam dengan kecepatan sedang. Bukit Bangkirai terletak di pertengahan antara Balikpapan dan Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan Samboja. Sebenarnya, secara administratif Bukit Bangkirai sudah termasuk di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang beribukota Tenggarong. Namun keberadaannya lebih banyak dikenal milik Kota Minyak Balikpapan.
Jalanan cukup padat. Jalur yang menghubungkan antar kota di Kaltim tersebut terlihat sangat mulus. Kiri kanan jalan tampak beberapa perkampungan kecil dan bukit-bukit hijau. Hilir mudik bis besar dari dan ke Samarinda sering saya dapati. Tak terasa mobil kami telah memasuki Samboja. Di sekitarnya terdapat banyak warung makan dan 1 buah pos polisi. Di sebuah perempatan besar, mobil kami membelok ke arah kiri. Dari sana, perjalanan masih cukup panjang. Sekitar 20 kilometer lagi yang harus kami lalui dengan membelah jalanan sepi yang kiri kanannya perbukitan curam.
Jalanan kadang menanjak dan menurun. Tapi saya sangat menikmati apa yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Dari kejauhan kadang saya menyaksikan bukit gundul karena sisa-sisa perambahan hutan. Saya miris melihatnya. Tapi itulah faktanya.
Kami lalu menemui jalur tanah tak beraspal. Disana ternyata terdapat sebuah area pertambangan batubara. Saat kami masuk ke jalur terakhir menuju Bukit Bangkirai, kami mendapati sekelompok pekerja tambang batubara. Mereka berjaga-jaga di sekitarnya. Semoga dengan adanya tambang batubara tersebut, tidak merusak alam yang ada di area Bukit Bangkirai. Karena jarak antar keduanya cukup jauh.
Memasuki Bukit Bangkirai, saya disambut oleh sebuah pintu gerbang. Yang menandakan bahwa kami benar-benar telah tiba di tujuan. Area rumput hijau dan beberapa bangunan bergaya tradisional saya temui disana. Pos retribusi mengharuskan kami untuk membayar sejumlah pungutan resmi.
Matahari makin rendah, menunjukan jika sore telah tiba. Untuk itu, saya dan kawan-kawan segera trekking menuju jembatan antar pohon. Waktu tempuh dengan berjalan kaki tersebut sekitar 20 menit. Kiri kanan jalur trek berupa pohon-pohon khas daerah tropis. Beberapa diantaranya di beri keterangan nama pohon pada sebuah kertas berlaminating. Salah satu nya adalah pohon berjenis meranti dan tentu saja bangkirai. Bahkan ada beberapa diantaranya telah mencapai ketinggian 50 meter. Selain aneka jenis tumbuhan khas hutan Kalimantan, Bukit Bangkirai juga mengoleksi beraneka fauna seperti owa-owa, beruk, lutung merah hingga bajing terbang. Namun sayang di jalur trek, saya tidak menemui satu jenis pun binatang tersebut. Saya yakin keberadaannya ada di sudut lain kawasan Bukit Bangkirai.
Saya juga menemui sebuah pohon tumbang di jalur trek. Yang mengharuskan saya untuk menaiki pohon tumbang tersebut. Meski suasana jalur yang kami lalui sangat teduh, tapi tetap saja badan saya berkeringat. Karena jalur yang dilalui lumayan menguras tenaga.
Saya akhirnya tiba di sebuah area yang di sekitarnya banyak terdapat papan nama dan gazebo. Ternyata itulah area dimana saya bisa menyaksikan jembatan kayu bergelantungan di atas sana. Pohon-pohon raksasa dijadikan sebagai penyangga jembatan-jembatan tersebut. Kami segera membayar kepada petugas Bukit Bangkirai, agar kami bisa menaiki wahana yang hanya terdapat beberapa buah saja di dunia itu. Beruntung Indonesia, khususnya Kaltim memilikinya. Bagi turis domestik retribusi yang harus dibayar adalah sebesar Rp 15 ribu, sedangkan untuk turis asing sebesar Rp 20 ribu. Cukup murah bila dibandingkan dengan apa yang akan saya alami diatas sana nanti.
Saya dan kawan-kawan lalu menaiki anak tangga yang jumlahnya sangat banyak, yang melingkar di sekiling pohon raksasa. Anak tangga terbuat dari kayu dengan sistem keamanan yang sudah dirancang oleh ahlinya. Rasa capek kembali saya alami, karena sebelumnya saya telah menempuh jalur trek.
Tapi apa yang saya saksikan di atas jembatan antar pohon, sungguh mengagumkan. Saya bisa memandang cerminan hutan khas Kalimantan di sekitarnya. Hijau dan sangat rimbun. Saya seolah-olah berada di puncak pohon raksasa yang jangkung. Tak menyia-nyiakan waktu, saya lalu merayap pelan menyeberangi jembatan yang hanya digantung dengan beberapa tali.
Jembatan segera saja bergoyang-goyang saat saya melewatinya. Saya semakin sadar jika saya benar-benar berada di ketinggian, diatas sebuah jembatan gantung. Rasa penasaran lah yang membuat saya bersemangat dan berusaha menghilangkan rasa takut untuk menapaki jembatan yang lebarnya hanya sekitar 1 meter itu.
Jembatan gantung tersebut jumlahnya tidak hanya 1 buah, namun ada beberapa buah bergelantungan di atas batang pohon meranti raksasa. Ada lima buah pohon Bangkirai yang terhubung jembatan. Masing-masing jembatan bergelantungan setinggi 30 meter dari permukaan tanah. Di setiap ujung jembatan, terdapat sebuah tempat istirahat semacam gazebo. Disana saya bisa beristirahat sejenak, untuk selanjutnya menaiki jembatan lainnya.
Hari sudah semakin sore. Kami terpaksa menyudahi petualangan antar pohon tersebut. Sisa tenaga yang kami miliki, harus kami manfaatkan untuk kembali menuruni anak tangga dan kembali trekking menuju mobil. Benar-benar sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Info akomodasi :
Jalur yang menghubungkan Balikpapan menuju Samboja bisa dilayani oleh bis besar tujuan Samarinda. Tarif sekitar Rp 20 ribu saja. Dari Samboja, anda bisa naik jasa ojek. Harga tergantung kepandaian anda menawar. Di Bukit Bangkirai juga tersedia penginapan atau cottage, tarif permalam sekitar Rp 450 ribu. Disana juga tersedia toko souvenir seperti gantungan kunci, pin dan kaos bergambar Bukit Bangkirai dengan jembatan gantung/canopy bridge nya.
Banjarmasin, 22 Juni 2010
Jembatan antar pohon yang ada di Bukit Bangkirai merupakan yang pertama di Indonesia, kedua di Asia dan yang ke delapan di dunia.
Saya berangkat dari Balikpapan bersama beberapa teman sekaligus. Dengan menggunakan mobil, kami memulai perjalanan sekitar jam 1 siang. Perjalanan ditempuh sekitar 1,5 jam dengan kecepatan sedang. Bukit Bangkirai terletak di pertengahan antara Balikpapan dan Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan Samboja. Sebenarnya, secara administratif Bukit Bangkirai sudah termasuk di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang beribukota Tenggarong. Namun keberadaannya lebih banyak dikenal milik Kota Minyak Balikpapan.
Jalanan cukup padat. Jalur yang menghubungkan antar kota di Kaltim tersebut terlihat sangat mulus. Kiri kanan jalan tampak beberapa perkampungan kecil dan bukit-bukit hijau. Hilir mudik bis besar dari dan ke Samarinda sering saya dapati. Tak terasa mobil kami telah memasuki Samboja. Di sekitarnya terdapat banyak warung makan dan 1 buah pos polisi. Di sebuah perempatan besar, mobil kami membelok ke arah kiri. Dari sana, perjalanan masih cukup panjang. Sekitar 20 kilometer lagi yang harus kami lalui dengan membelah jalanan sepi yang kiri kanannya perbukitan curam.
Jalanan kadang menanjak dan menurun. Tapi saya sangat menikmati apa yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Dari kejauhan kadang saya menyaksikan bukit gundul karena sisa-sisa perambahan hutan. Saya miris melihatnya. Tapi itulah faktanya.
Kami lalu menemui jalur tanah tak beraspal. Disana ternyata terdapat sebuah area pertambangan batubara. Saat kami masuk ke jalur terakhir menuju Bukit Bangkirai, kami mendapati sekelompok pekerja tambang batubara. Mereka berjaga-jaga di sekitarnya. Semoga dengan adanya tambang batubara tersebut, tidak merusak alam yang ada di area Bukit Bangkirai. Karena jarak antar keduanya cukup jauh.
Memasuki Bukit Bangkirai, saya disambut oleh sebuah pintu gerbang. Yang menandakan bahwa kami benar-benar telah tiba di tujuan. Area rumput hijau dan beberapa bangunan bergaya tradisional saya temui disana. Pos retribusi mengharuskan kami untuk membayar sejumlah pungutan resmi.
Matahari makin rendah, menunjukan jika sore telah tiba. Untuk itu, saya dan kawan-kawan segera trekking menuju jembatan antar pohon. Waktu tempuh dengan berjalan kaki tersebut sekitar 20 menit. Kiri kanan jalur trek berupa pohon-pohon khas daerah tropis. Beberapa diantaranya di beri keterangan nama pohon pada sebuah kertas berlaminating. Salah satu nya adalah pohon berjenis meranti dan tentu saja bangkirai. Bahkan ada beberapa diantaranya telah mencapai ketinggian 50 meter. Selain aneka jenis tumbuhan khas hutan Kalimantan, Bukit Bangkirai juga mengoleksi beraneka fauna seperti owa-owa, beruk, lutung merah hingga bajing terbang. Namun sayang di jalur trek, saya tidak menemui satu jenis pun binatang tersebut. Saya yakin keberadaannya ada di sudut lain kawasan Bukit Bangkirai.
Saya juga menemui sebuah pohon tumbang di jalur trek. Yang mengharuskan saya untuk menaiki pohon tumbang tersebut. Meski suasana jalur yang kami lalui sangat teduh, tapi tetap saja badan saya berkeringat. Karena jalur yang dilalui lumayan menguras tenaga.
Saya akhirnya tiba di sebuah area yang di sekitarnya banyak terdapat papan nama dan gazebo. Ternyata itulah area dimana saya bisa menyaksikan jembatan kayu bergelantungan di atas sana. Pohon-pohon raksasa dijadikan sebagai penyangga jembatan-jembatan tersebut. Kami segera membayar kepada petugas Bukit Bangkirai, agar kami bisa menaiki wahana yang hanya terdapat beberapa buah saja di dunia itu. Beruntung Indonesia, khususnya Kaltim memilikinya. Bagi turis domestik retribusi yang harus dibayar adalah sebesar Rp 15 ribu, sedangkan untuk turis asing sebesar Rp 20 ribu. Cukup murah bila dibandingkan dengan apa yang akan saya alami diatas sana nanti.
Saya dan kawan-kawan lalu menaiki anak tangga yang jumlahnya sangat banyak, yang melingkar di sekiling pohon raksasa. Anak tangga terbuat dari kayu dengan sistem keamanan yang sudah dirancang oleh ahlinya. Rasa capek kembali saya alami, karena sebelumnya saya telah menempuh jalur trek.
Tapi apa yang saya saksikan di atas jembatan antar pohon, sungguh mengagumkan. Saya bisa memandang cerminan hutan khas Kalimantan di sekitarnya. Hijau dan sangat rimbun. Saya seolah-olah berada di puncak pohon raksasa yang jangkung. Tak menyia-nyiakan waktu, saya lalu merayap pelan menyeberangi jembatan yang hanya digantung dengan beberapa tali.
Jembatan segera saja bergoyang-goyang saat saya melewatinya. Saya semakin sadar jika saya benar-benar berada di ketinggian, diatas sebuah jembatan gantung. Rasa penasaran lah yang membuat saya bersemangat dan berusaha menghilangkan rasa takut untuk menapaki jembatan yang lebarnya hanya sekitar 1 meter itu.
Jembatan gantung tersebut jumlahnya tidak hanya 1 buah, namun ada beberapa buah bergelantungan di atas batang pohon meranti raksasa. Ada lima buah pohon Bangkirai yang terhubung jembatan. Masing-masing jembatan bergelantungan setinggi 30 meter dari permukaan tanah. Di setiap ujung jembatan, terdapat sebuah tempat istirahat semacam gazebo. Disana saya bisa beristirahat sejenak, untuk selanjutnya menaiki jembatan lainnya.
Hari sudah semakin sore. Kami terpaksa menyudahi petualangan antar pohon tersebut. Sisa tenaga yang kami miliki, harus kami manfaatkan untuk kembali menuruni anak tangga dan kembali trekking menuju mobil. Benar-benar sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Info akomodasi :
Jalur yang menghubungkan Balikpapan menuju Samboja bisa dilayani oleh bis besar tujuan Samarinda. Tarif sekitar Rp 20 ribu saja. Dari Samboja, anda bisa naik jasa ojek. Harga tergantung kepandaian anda menawar. Di Bukit Bangkirai juga tersedia penginapan atau cottage, tarif permalam sekitar Rp 450 ribu. Disana juga tersedia toko souvenir seperti gantungan kunci, pin dan kaos bergambar Bukit Bangkirai dengan jembatan gantung/canopy bridge nya.
Banjarmasin, 22 Juni 2010
Pesona Tenggarong di Malam Hari
Selepas melaksanakan ibadah sholat Maghrib di Islamic Center Samarinda yang sangat megah, saya bersama tiga orang teman segera beranjak ke Tenggarong. Sebuah ibukota kabupaten terkaya di negeri ini. Konon PAD yang berhasil dikeruk Kutai Kartanegara mencapai trilyunan rupiah. Sebuah kekayaan yang sangat kontras dengan PAD beberapa kabupaten di Pulau Jawa yang hanya puluhan milyar.
Kami hanya menaiki sepeda motor ke Tenggarong. Jalan utama yang menghubungkan Samarinda menuju Tenggarong berupa jalan yang meliuk-liuk membelah beberapa perbukitan. Jalan agak gelap dan sedikit menantang. Entah kenapa ratusan Penerangan Jalan Umum (PJU) yang kami lalui tak ada yang menyala. Sedikit ironis mengingat lampu-lampu jalan itu berdiri tegak di kabupaten kaya raya.
Saya juga menemui sebuah lokasi tambang batubaru di sebelah kiri jalan arah Tenggarong. Meski samar-samar, namun saya yakin jika lokasi tersebut merupakan lahan tambang yang masih di eksploitasi. Saya agak sedih mengetahui hal ini, karena lokasi tambang berada tidak jauh dari dua buah kota, yakni Samarinda dan Tenggarong. Bahkan parahnya, tambang emas hitam itu juga pasti mengancam lingkungan sekitar yang merupakan sisa-sisa perambahan hutan masa lalu. Semakin parah saja kondisi alam di sekitar nya.
Atraksi paling popular di Tenggarong adalah memandangi megah nya Jembatan Kartanegara yang membentang di atas Sungai Mahakam di malam hari. Tak seperti kebanyakan jembatan megah di berbagai kota lain di Indonesia, jembataan kebanggaan warga Tenggarong ini dihiasi begitu banyak lampu. Tak heran jika seluruh bentuk jembatan, sangat terlihat jelas di malam hari. Karena ribuan lampu dengan sorot terang terpasang kokoh di setiap lekuk jembatan. Sehingga bangunan jembatan benar-benar sangat cantik dan semarak di malam hari. Bias lampu nya pun memantul indah di atas permukaan air Sungai Mahakam di bawahnya.
Desain jembatan sekilas mirip Jembatan Barito di Banjarmasin. Bahkan banyak yang bilang mirip Jembatan Golden Gate di Amrik. Tiang pancang nya sangat kokoh, dengan warna kuning membungkus baja-baja kuat tersebut. Menancap kokoh hingga dasar Sungai Mahakam, salah satu sungai raksasa di Asia Tenggara. Sungai yang menjadi kebanggaan para backpacker asing maupun lokal untuk menjelajah menggunakan kapal sungai hingga ke hulu nya. Karena katanya banyak objek unik yang ada di hulu Sungai Mahakam, seperti perkampungan Dayak Kenyah, Danau Jempang, Danau Semayang, hingga jeram-jeram menantang. Bahkan jika beruntung, sekumpulan ikan pesut bisa ditemui di beberapa titik di sekitar sungai. Ikan yang sangat langka, yang menjadi ciri khas Sungai Mahakam.
Saya juga mengunjungi Museum Mulawarman, makam-makam raja Kutai, kedaton hingga sebuah masjid tua. Lokasi nya berdekatan. Selain tempat-tempat bersejarah tersebut, saya juga mengunjungi tepian Sungai Mahakam di sekitar Jembatan Kartanegara untuk sekedar makan malam. Menu yang saya pilih adalah lalapan nila goreng. Sambil menyantap lalapan, saya juga bisa menyaksikan kemegahan jembataan kebanggaan warga Kutai tersebut.
Rute :
Kota utama untuk memasuki Kaltim adalah Balikpapan. Bandara Internasional Sepinggan banyak melayani rute pesawat dari berbagai kota termasuk Jakarta. Dari Balikpapan anda bisa menggunakan bis umum menuju Samarinda sekitar 2,5 jam dengan tarif Rp 20 ribu saja. Dari Samarinda menuju Tenggarong hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Sewa ojek ataupun menumpang angkutan umum adalah pilihan yang tepat. Banyak pilihan objek wisata lain di Tenggarong, diantaranya adalah Pulau Kumala, planetarium, dan lain sebagainya.
Kami hanya menaiki sepeda motor ke Tenggarong. Jalan utama yang menghubungkan Samarinda menuju Tenggarong berupa jalan yang meliuk-liuk membelah beberapa perbukitan. Jalan agak gelap dan sedikit menantang. Entah kenapa ratusan Penerangan Jalan Umum (PJU) yang kami lalui tak ada yang menyala. Sedikit ironis mengingat lampu-lampu jalan itu berdiri tegak di kabupaten kaya raya.
Saya juga menemui sebuah lokasi tambang batubaru di sebelah kiri jalan arah Tenggarong. Meski samar-samar, namun saya yakin jika lokasi tersebut merupakan lahan tambang yang masih di eksploitasi. Saya agak sedih mengetahui hal ini, karena lokasi tambang berada tidak jauh dari dua buah kota, yakni Samarinda dan Tenggarong. Bahkan parahnya, tambang emas hitam itu juga pasti mengancam lingkungan sekitar yang merupakan sisa-sisa perambahan hutan masa lalu. Semakin parah saja kondisi alam di sekitar nya.
Atraksi paling popular di Tenggarong adalah memandangi megah nya Jembatan Kartanegara yang membentang di atas Sungai Mahakam di malam hari. Tak seperti kebanyakan jembatan megah di berbagai kota lain di Indonesia, jembataan kebanggaan warga Tenggarong ini dihiasi begitu banyak lampu. Tak heran jika seluruh bentuk jembatan, sangat terlihat jelas di malam hari. Karena ribuan lampu dengan sorot terang terpasang kokoh di setiap lekuk jembatan. Sehingga bangunan jembatan benar-benar sangat cantik dan semarak di malam hari. Bias lampu nya pun memantul indah di atas permukaan air Sungai Mahakam di bawahnya.
Desain jembatan sekilas mirip Jembatan Barito di Banjarmasin. Bahkan banyak yang bilang mirip Jembatan Golden Gate di Amrik. Tiang pancang nya sangat kokoh, dengan warna kuning membungkus baja-baja kuat tersebut. Menancap kokoh hingga dasar Sungai Mahakam, salah satu sungai raksasa di Asia Tenggara. Sungai yang menjadi kebanggaan para backpacker asing maupun lokal untuk menjelajah menggunakan kapal sungai hingga ke hulu nya. Karena katanya banyak objek unik yang ada di hulu Sungai Mahakam, seperti perkampungan Dayak Kenyah, Danau Jempang, Danau Semayang, hingga jeram-jeram menantang. Bahkan jika beruntung, sekumpulan ikan pesut bisa ditemui di beberapa titik di sekitar sungai. Ikan yang sangat langka, yang menjadi ciri khas Sungai Mahakam.
Saya juga mengunjungi Museum Mulawarman, makam-makam raja Kutai, kedaton hingga sebuah masjid tua. Lokasi nya berdekatan. Selain tempat-tempat bersejarah tersebut, saya juga mengunjungi tepian Sungai Mahakam di sekitar Jembatan Kartanegara untuk sekedar makan malam. Menu yang saya pilih adalah lalapan nila goreng. Sambil menyantap lalapan, saya juga bisa menyaksikan kemegahan jembataan kebanggaan warga Kutai tersebut.
Rute :
Kota utama untuk memasuki Kaltim adalah Balikpapan. Bandara Internasional Sepinggan banyak melayani rute pesawat dari berbagai kota termasuk Jakarta. Dari Balikpapan anda bisa menggunakan bis umum menuju Samarinda sekitar 2,5 jam dengan tarif Rp 20 ribu saja. Dari Samarinda menuju Tenggarong hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Sewa ojek ataupun menumpang angkutan umum adalah pilihan yang tepat. Banyak pilihan objek wisata lain di Tenggarong, diantaranya adalah Pulau Kumala, planetarium, dan lain sebagainya.
Pesona Pulau Beras Basah, Bontang Kaltim
Impian berpetualang di Bumi Etam, Kalimantan Timur akhirnya terwujud juga. Sejak lama saya berkhayal bisa berkeliling ke kota-kota di Kaltim, termasuk ke beberapa objek wisata alam, budaya hingga kuliner nya. Pulau Beras Basah di Kota Bontang menjadi salah satu objek wisata yang berhasil saya kunjungi selama di Kaltim awal april lalu.
Pulau Beras Basah terletak sekitar 40 menit perjalanan laut. Dengan menyewa kapal nelayan, saya mantabkan niat untuk menikmati pesona bahari yang ditawarkan pulau yang memiliki pantai pasir putih itu. Kapal bertolak dari sebuah dermaga kayu di kawasan Bontang Kuala, Bontang. Sekitar pukul 10 pagi saya awali perjalanan dengan beberapa orang teman sekaligus. Ada Gunadi, Mas Rully, Amsi, Deny, serta beberapa fotograper Bontang yang baru saya kenal.
Meski kapal agak sesak oleh penumpang, tapi kami tetap bernyali untuk menyeberangi lautan. Langit sangat cerah. Awan putih berarak di sekitarnya. Menambah semangat saya untuk segera tiba di Pulau Beras Basah. Terakhir ke pantai sekitar bulan maret lalu, tepat nya di Pulau Samalona Makassar, Sulsel. Sedikit rasa rindu untuk mencicipi kembali pesona pantai, membawa saya ke Pulau Beras Basah.
Selama perjalanan, saya menemui air laut yang sangat jernih. Cukup dari atas kapal, saya bisa melihat hijau nya tumbuhan laut di dasar nya. Bahkan sesekali ikan kecil terlihat samar-samar di bawah sana. Sementara, pulau-pulau tak berpenghuni juga ramai terlihat. Pulau-pulau kecil itu hanya dipenuhi pohon bakau yang rimbun. Tak hanya itu, saya juga menemui perkampungan di atas air laut. Sekumpulan rumah itu sama sekali tak terhubung dengan daratan. Satu-satunya cara agar warga nya terhubung dengan daratan adalah dengan menggunakan kapal. Benar-benar kampung yang unik.
Tak terasa sebuah mercusuar menjulang tinggi menyambut kedatangan saya. Pantai berpasir putih pun terlihat jelas. Tak sabar rasanya untuk segera menginjakan kaki di atas nya. Kapal terus merapat ke sebuah dermaga kayu di sekitar pulau. Disana sudah ada beberapa kapal tambat. Tampaknya pulau kecil ini sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Saya dan rombongan segera menaiki dermaga. Dengan membawa perbekalan berupa tas, makanan dan sebagainya, kami segera menuju sebuah pondokan sederhana di tengah-tengah pulau. Bangunan dari kayu tersebut, cukup luas untuk sekedar menaruh barang bawaan dan sebagai tempat untuk istirahat. Pohon-pohon rimbun di sekitarnya terlihat kokoh meski lokasi nya berada di atas pulau berpasir.
Saya segera melaju ke tepian pulau. Mencari objek yang cocok untuk menyalurkan hobi fotograpi. Tak hanya itu, saya juga menyukai suasana pantai dan laut lepas. Maka tak salah jika Pulau Beras Basah menjadi magnet utama saya ke kota Bontang. Saya juga sempat mendekati ke satu-satu nya bangunan menjulang di pulau ini. Mercusuar kokoh yang tegak berdiri di atas pulau. Sekilas mirip Pulau Lengkuas Belitung. Tapi bedanya, pulau ini tak memiliki batu-batu besar seperti yang ada di Pulau Lengkuas.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya segera menceburkan kaki di tepian laut nya yang sangat jernih. Meski tidak mandi di air nya, namun saya tetap menikmati sejuknya air laut di sekitar pulau. Tumbuhan laut sesekali tak sengaja saya injak. Bintang laut berukuran seperti telapak tangan juga berhasil saya temui. Warnanya sangat indah, campuran antara coklat dan merah muda. Mengingatkan saya pada salah satu tokok kartun di serial Sponge Bob. Di sudut lain saya menemui beberapa anak kecil. Mereka sepertinya sangat menikmati pesona pulau ini.
Semakin siang semakin berkurang jumlah wisatawan. Sehingga menambah damai pulau ini. Matahari semakin condong ke barat. Rasanya sudah saat nya untuk meninggalkan pulau kecil berpasir putih dan berair jernih ini. Karena katanya, semakin sore ombak di lautan yang akan kami lewati semakin ganas.
Dengan berat hati saya langkahkan kaki menuju kapal. Sebelum benar-benar berangkat saya menemui dua buah kapal layar kecil di sekitar pulau. Kapalnya cantik dan mewah. Sementara di sudut lain ada sebuah kapal kecil milik nelayan. Perbedaan yang mencolok.
Rute :
Pesawat dari berbagai kota dengan tujuan Balikpapan sangat ramai. Dari Balikpapan menuju Bontang bisa memilih jalur bis dengan lama perjalanan sekitar 5 jam. Tarif bis AC, hanya Rp 85 ribu. Salah satu nya adalah PO Samarinda Lestari. Jika dari Samarinda, perjalanan hanya sekitar 2 jam saja. Dengan biaya bis hanya sebesar Rp 20 ribu. Tiba di Bontang, anda bisa menyewa kapal di sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Laut. Tarif sewa kapal bervariasi, antara Rp 300 hingga 400 ribu. Bisa menampung 10 penumpang sekaligus. Di Pulau Beras Basah tak ditemui penginapan dan warung makan, maka sebaiknya anda tidak menginap dan membawa perbekalan berupa makanan. Solusi nya anda bisa menginap di kota Bontang.
Banjarmasin, 17 April 2010
Pulau Beras Basah terletak sekitar 40 menit perjalanan laut. Dengan menyewa kapal nelayan, saya mantabkan niat untuk menikmati pesona bahari yang ditawarkan pulau yang memiliki pantai pasir putih itu. Kapal bertolak dari sebuah dermaga kayu di kawasan Bontang Kuala, Bontang. Sekitar pukul 10 pagi saya awali perjalanan dengan beberapa orang teman sekaligus. Ada Gunadi, Mas Rully, Amsi, Deny, serta beberapa fotograper Bontang yang baru saya kenal.
Meski kapal agak sesak oleh penumpang, tapi kami tetap bernyali untuk menyeberangi lautan. Langit sangat cerah. Awan putih berarak di sekitarnya. Menambah semangat saya untuk segera tiba di Pulau Beras Basah. Terakhir ke pantai sekitar bulan maret lalu, tepat nya di Pulau Samalona Makassar, Sulsel. Sedikit rasa rindu untuk mencicipi kembali pesona pantai, membawa saya ke Pulau Beras Basah.
Selama perjalanan, saya menemui air laut yang sangat jernih. Cukup dari atas kapal, saya bisa melihat hijau nya tumbuhan laut di dasar nya. Bahkan sesekali ikan kecil terlihat samar-samar di bawah sana. Sementara, pulau-pulau tak berpenghuni juga ramai terlihat. Pulau-pulau kecil itu hanya dipenuhi pohon bakau yang rimbun. Tak hanya itu, saya juga menemui perkampungan di atas air laut. Sekumpulan rumah itu sama sekali tak terhubung dengan daratan. Satu-satunya cara agar warga nya terhubung dengan daratan adalah dengan menggunakan kapal. Benar-benar kampung yang unik.
Tak terasa sebuah mercusuar menjulang tinggi menyambut kedatangan saya. Pantai berpasir putih pun terlihat jelas. Tak sabar rasanya untuk segera menginjakan kaki di atas nya. Kapal terus merapat ke sebuah dermaga kayu di sekitar pulau. Disana sudah ada beberapa kapal tambat. Tampaknya pulau kecil ini sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Saya dan rombongan segera menaiki dermaga. Dengan membawa perbekalan berupa tas, makanan dan sebagainya, kami segera menuju sebuah pondokan sederhana di tengah-tengah pulau. Bangunan dari kayu tersebut, cukup luas untuk sekedar menaruh barang bawaan dan sebagai tempat untuk istirahat. Pohon-pohon rimbun di sekitarnya terlihat kokoh meski lokasi nya berada di atas pulau berpasir.
Saya segera melaju ke tepian pulau. Mencari objek yang cocok untuk menyalurkan hobi fotograpi. Tak hanya itu, saya juga menyukai suasana pantai dan laut lepas. Maka tak salah jika Pulau Beras Basah menjadi magnet utama saya ke kota Bontang. Saya juga sempat mendekati ke satu-satu nya bangunan menjulang di pulau ini. Mercusuar kokoh yang tegak berdiri di atas pulau. Sekilas mirip Pulau Lengkuas Belitung. Tapi bedanya, pulau ini tak memiliki batu-batu besar seperti yang ada di Pulau Lengkuas.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya segera menceburkan kaki di tepian laut nya yang sangat jernih. Meski tidak mandi di air nya, namun saya tetap menikmati sejuknya air laut di sekitar pulau. Tumbuhan laut sesekali tak sengaja saya injak. Bintang laut berukuran seperti telapak tangan juga berhasil saya temui. Warnanya sangat indah, campuran antara coklat dan merah muda. Mengingatkan saya pada salah satu tokok kartun di serial Sponge Bob. Di sudut lain saya menemui beberapa anak kecil. Mereka sepertinya sangat menikmati pesona pulau ini.
Semakin siang semakin berkurang jumlah wisatawan. Sehingga menambah damai pulau ini. Matahari semakin condong ke barat. Rasanya sudah saat nya untuk meninggalkan pulau kecil berpasir putih dan berair jernih ini. Karena katanya, semakin sore ombak di lautan yang akan kami lewati semakin ganas.
Dengan berat hati saya langkahkan kaki menuju kapal. Sebelum benar-benar berangkat saya menemui dua buah kapal layar kecil di sekitar pulau. Kapalnya cantik dan mewah. Sementara di sudut lain ada sebuah kapal kecil milik nelayan. Perbedaan yang mencolok.
Rute :
Pesawat dari berbagai kota dengan tujuan Balikpapan sangat ramai. Dari Balikpapan menuju Bontang bisa memilih jalur bis dengan lama perjalanan sekitar 5 jam. Tarif bis AC, hanya Rp 85 ribu. Salah satu nya adalah PO Samarinda Lestari. Jika dari Samarinda, perjalanan hanya sekitar 2 jam saja. Dengan biaya bis hanya sebesar Rp 20 ribu. Tiba di Bontang, anda bisa menyewa kapal di sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Laut. Tarif sewa kapal bervariasi, antara Rp 300 hingga 400 ribu. Bisa menampung 10 penumpang sekaligus. Di Pulau Beras Basah tak ditemui penginapan dan warung makan, maka sebaiknya anda tidak menginap dan membawa perbekalan berupa makanan. Solusi nya anda bisa menginap di kota Bontang.
Banjarmasin, 17 April 2010
Pesta Durian di Kampung Dayak Meratus
Tapi entah kenapa, di tanggal 17 Januari 2010 lalu saya seakan-akan melupakan kebiasaan saya selama ini yang sangat memusuhi buah durian.Seumur hidup baru kali itu saya menyantap durian di kebunnya langsung dengan porsi yang banyak.Tepatnya di salah satu kebun durian milik teman di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel.Sebuah kecamatan yang didominasi oleh penduduk suku Dayak Meratus.Zainal nama pemilik kebun durian itu.Ajakannya untuk berburu durian di Loksado, memaksa saya kembali berkunjung ke Loksado.Padahal 2 minggu sebelumnya saya juga liburan ke kawasan wisata alam yang berada di sekitar Pegunungan Meratus tersebut.
Tepat jam 4 sore, kami memulai perjalanan dengan sepeda motor dari Banjarmasin.Karena masih di bulan Januari yang sering turun hujan, maka selama perjalanan sangat terganggu oleh guyuran air dari langit.Memaksa kami bolak-balik berteduh menghindari air hujan.Alhasil perjalanan terasa sangat panjang.Dan puncaknya, kami mengalami perjalanan yang sangat menantang di sekitar Pegunungan Meratus.Jalan aspal yang menanjak dan menurun, gelap gulita, tak ada penduduk yang dibarengi hujan lebat harus kami lalui.Benar-benar sebuah perjalanan yang sulit dilupakan, demi beberapa buah durian..!
Jam 12 malam kami tiba di Loksado.Rumah Zainal menyambut kedatangan kami dengan aroma durian yang sangat menyengat.Lampu temaram rumah, masih bisa menunjukkan tumpukan durian di salah satu sudut rumah.Tak berlama-lama, Zainal si empu nya rumah sekaligus pemilik durian langsung mengajak kami mencicipi buah berwarna hijau kekuningan itu.
Malam itu juga, si Zainal dan salah seorang kawan nya menuju kebun durian yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah.Saya dan beberapa kawan tidak berniat ikut.Karena badan rasanya lelah sekali.Tak mungkin melakukan trekking ke kebun durian di tengah malam dingin yang gelap.Bantal dan karpet sederhana rasanya sangat cocok untuk menemani sisa malam.
Jam 5 shubuh kami terbangun.Ternyata hasil perburuan Zainal di kebun durian membawa hasil.Tumpukan durian makin bertambah di dalam rumah, aroma nya semakin menyengat.Namun anehnya, saya dan kawan lainnya tetap saja tergoda menyantap durian.Tak peduli malam masih gelap gulita, kami tetap semangat mengadakan pesta durian.
Belum puas menyantap durian di rumah, Zainal kembali ingin berburu durian di kebun miliknya.Kali ini saya dan teman-teman lainnya memutuskan untuk ikut ke kebun.Berbekal penerangan seadanya, kami nekad menerobos jalur trekking yang gelap dan menanjak.Tanah licin dan becek, terasa akrab di kaki.Bahkan, kami juga menemui anak sungai yang harus kami lalui.
Si Taufik yang berasal dari Jakarta, yang terbiasa hidup di kota besar, berkali-kali terpeleset selama trekking.Mungkin, ini pengalaman pertama nya menyusuri hutan dengan kondisi jalan yang ekstrem.Bagi Zainal dan kawan-kawannya sesama pecinta alam, mungkin tak asing lagi dengan kondisi seperti ini.
Beberapa menit kemudian kami tiba di kebun durian.Bunyi debam durian yang jatuh ke tanah seakan-akan membalas perjuangan berat kami menyusuri jalur trek sebelumnya.Tiap beberapa menit, ada saja buah durian yang jatuh dari pohonnya.Dengan tangkas, kami memunguti durian jatuh tersebut.Lalu mengumpulkannya di atas lantai sederhana di dalam pondok kecil milik Zainal.
Beberapa anak suku Dayak Meratus kami jumpai disana.Ternyata mereka juga sedang berburu durian.Merupakan pendapatan tambahan bagi mereka jika sedang memasuki musim durian.Biasanya buah durian dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke Loksado.Meski harganya agak miring, tapi tetap saja hasil dagangannya dapat memberi penghasilan tambahan bagi keluarga suku Dayak Meratus.
Hingga jam 7 pagi, kami masih berkutat di kebun durian.Sesekali kami menyantap buah durian hasil buruan.Meski belum sarapan, kami tetap nekad menyantap durian di pagi buta yang hawa nya sangat dingin.Kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah.Dengan bawaan yang sangat banyak, apalagi kalo bukan memboyong puluhan biji durian.Tas punggung, sarung serta butah (tas tradisional khas Dayak Meratus) menjadi alat yang cocok untuk mengangkut hasil panen durian.
Perjalanan kami akhiri dengan berkunjung ke air terjun Haratai yang air nya sangat deras dan jernih.Perjalanan balik ke Banjarmasin terasa berbeda, karena kami membawa begitu banyak buah durian.Menjadikan kami seperti juragan durian yang akan berjualan di kota.
oleh: dedeelsye83@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar